Kembali heboh di dunia maya, akibat undang-undang yang dicetuskan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 perihal Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi. Di antara isi pasal larangan itu berbunyi:
Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban.
Yang menjadi titik permasalahan ialah frasa ‘tanpa persetujuan korban’. Frasa tersebut memicu banyak kritikan atau bahkan penolakan dari beberapa kalangan terhadap peraturan tadi, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Komisi X DPR RI Fraksi PPP dan ormas-ormas lain. Frasa ‘tanpa persetujuan korban’ itu tercantum pada pasal 5 ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, dan huruf i. Undang-undang tersebut diembel-embeli frasa yang keliru sehingga dikhawatirkan akan ada multi tafsir yang berpotensi disalah-artikan oleh sebagian orang yang kurang memahami maksud dan maknanya. Pemerkosaan bisa menjadi tidak haram asalkan disetujui korban menurut peraturan tadi.
Baca Juga:Perempuan Didiskriminasi (?)
Hal itu terjadi karena secara tidak langsung peraturan tersebut melegalkan perzinaan atau seks bebas atas dasar persetujuan korban yang mana hal tersebut diharamkan oleh agama. Hubungan seksual, baik dilakukan dengan dasar persetujuan korban atau tidak, tetap termasuk perbuatan zina yang haram. Sebagaimana definisi yang dipaparkan oleh salah satu ulama Syafi’iah, yakni Imam Syirazi, yaitu menyetubuhi wanita yang tidak halal dengan tanpa akad nikah yang sah dan bukan wathi’ syubhat. Nah, dari pengertian barusan, maka menjadi jelas bahwa setiap persetubuhan atau pemerkosaan yang dilakukan tanpa didasari akad nikah adalah zina, tanpa meninjau apakah sudah mendapat persetujuan dari korban atau pun tidak. Kalau pemerkosaan yang dilandasi persetujuan dari korban atau suka sama suka itu termasuk kategori zina, maka hal tersebut sudah pasti dinyatakan haram, dan sangat fatal jika sampai diperbolehkan. Berani menghalalkan perkara haram, berarti keluar dari Islam.
Ditambah lagi, dalam teori ilmu ushul fiqh disebutkan, seorang yang dipaksa melakukan perkara haram maka orang tersebut tidak tertaklif, dalam artian tidak dihukum sebab mengerjakan perkara haram bila dipaksa. Kecuali dua hal, yakni perbuatan zina dan pembunuhan. Apabila seorang dipaksa melakukan salah satu dua aksi barusan, maka orang tersebut tetap dihukum bila mentaatinya (Asybâh Wan-Nadhâ’ir, hlm 150). Pelaku pemerkosaan yang dipaksa saja dihukum, apalagi yang tidak dipaksa.
Jika seks bebas itu merupakan perkara haram, maka jangankan melakukan hal tersebut, melakukan hal yang mendekatinya pun tidak boleh, seperti berduaan, berpacaran, dan berciuman. Sebab bisa menjerumuskan ke jurang perzinaan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya juz 5 hal. 72, ketika menafsiri firman Allah I yang berbunyi:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al-Isra’: 32)
Sungguh sangat disayangkan sekali, lingkungan yang semestinya mendidik generasi muda menjadi pribadi yang bermoral dan bermartabat, justru membikin undang-undang yang merusak standar moral bangsa. Dalam peraturan itu standar boleh dan tidaknya aktivitas seksual tidak lagi berdasar pada nilai-nilai agama dan prinsip Ketuhanan yang Maha Esa, tetapi hanya berdasar pada persetujuan dari pihak tertentu. Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, aktivitas seksual bisa dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan. Dan hal yang demikian, jelas sudah melenceng dari agama Islam.
Ismail | Annajahsidogiri.id