Al-Qur’an Surat al-Isra, ayat kesatu, merupakan salah satu tanda dari mukjizat yang Allah berikan kepada Baginda Nabi Muhammad. Mukjizat itu sebagai bukti dari eksistensi nubuwat Rasulullah. Syekh Ibrahim al-Laqani mengutip pendapat Imam Fakhruddin ar-Razi dalam mendefinisikan mukjizat Nabi. Bahwa, mukjizat adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh orang biasa. Ia hanya dimiliki oleh para nabi. (Hidâyatul Murîd Li Jauharatit-Tauhîd. I/260).
Imam Ahmad bin Muhammad ash-Shawi menyatakan bahwa peristiwa Isra dan Mikraj dialami oleh Nabi saat beliau sedang tidur di pelataran Masjidil-Haram. Lalu beliau didatangi oleh Malaikat Jibril dan Mikail yang telah mempersiapkan kendaraan bernama Buraq (hewan ini berpostur tidak lebih tinggi dari himar, tetapi juga tak lebih rendah dari bighal). Dengan menunggangi hewan tersebut Nabi mampu menempuh perjalanan yang amat jauh itu dengan waktu yang singkat. Masing-masing perjalanan Isra dan Mikraj ditempuh hanya dengan memakan waktu tiga sampai empat jam. Di pagi harinya, Nabi telah kembali ke kota Mekkah. (ash-Shâwî ‘Alâ Tafsîr Jalalain. II/343).
Selain jarak jauh yang harus dilalui, dalam peristiwa mikraj, Nabi juga diberi izin oleh Allah bisa melihat wujud Allah. Dalam hal ini Allah berfirman:
وَلَقَدْ رَاٰهُ نَزْلَةً اُخْرٰىۙ
“Dan sungguh, dia (Muhammad r) telah melihatNya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain.” (An-Najm: 13)
Shahabat Abdullah bin Abbas memaparkan kalau ayat di atas menjadi dalil bahwa Nabi melihat wujud Allah I secara nyata ketika berada di Sidratul-Muntaha. Akan tetapi, para ulama Ahlusunah wal Jamaah bersepakat, bahwa proses Nabi melihat Allah I tidak ada yang tahu (seperti apa dan bagaimana).Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, Ibnu Abbas berkata: yang artinya, “Allah telah memberikan kekhususan kepada Nabi Ibrahim dengan tidak tersentuh api yang membakarnya. Allah juga telah memilih Nabi Musa untuk dapat berbicara dengan-Nya. Pun demikian, Allah memberikan kekhususan kepada Nabi Muhammad r dapat melihat DzatNya.”
Setelah Nabi mengalami peristiwa Isra dan Mikraj, beliau mengabarkan kejadian itu kepada para penduduk Mekkah supaya mereka mengimaninya. Namun yang terjadi sebaliknya; alih-alih menancapkan iman dalam hati, mereka malah menentang dan semakin mencaci Nabi. Bahkan, sebagian dari mereka mengatakan bahwa Nabi telah gila.
Semakin maraknya kabar tersebut membikin orang-orang yang awalnya beriman kepada Nabi, memilih untuk keluar dari agama Islam. Berbeda dengan yang dilakukan oleh Sayidina Abu Bakar, tatkala ia mendengar kejadian yang dialami oleh Nabi, ia langsung beriman tanpa ragu sedikit pun. Hal inilah kemudian yang membuat beliau mendapat gelar ash-Shiddiq (Tafsîr al-Munîr I/ 519). Dalam hal ini Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki menjelaskan bahwa seseorang yang tidak mengimani Isra dihukumi kafir. Sedangkan orang yang tidak memercayai Mikraj dihikumi fasik.
Kafir bagi orang yang tidak mengimani Isra lantaran peristiwa tersebut telah termaktub dalam al-Quran dan Hadis, serta masuk dalam kesepakatan ulama. Adapun fasik bagi yang tidak percaya Mikraj karena kejadian itu telah tertuang dalam hadis-hadis masyhur (Kitâbus-Shâwî ‘Alâ Syarhi Jauharatit-Tauhîd.I/312)
Melalui keterangan ini bisa kita tarik benang merah, bahwa kewajiban dalam mengimani Isra dan Mikraj sudah tidak perlu dipertanyakan lagi; hanya orang kafir dan fasik saja yang tetap bersikukuh dalam kesesatannya dengan tidak mengimani mukjizat dahsyat yang dialami oleh Nabi ini.
Muhammad Rovi Bada | Annajahsidogiri.id