Perbuatan manusia tetap menjadi permasalahan di kalangan kelompok Jabariyah, Qadariyah, juga Muktazilah, mengenai apakah pebuatan manusia wewenang sendiri atau diciptaan Allah Swt. sepenuhnya, atau perbuatan manusia merupakan perpaduan kekuasaan manusia yang bersamaan dengan takdir Allah Swt. Tentu, kiranya pembahasan ini perlu diulas agar pemahaman kita tidak tercampur baur dengan kelompok sesat lainnya.
Dalam pandangan Ahlusunnah, perbuatan manusia merupakan ikhtiar (pilihan) manusia yang berpaut dengan takdir Tuhan, (مجبورا باطنا مختارا ظاهرا) “terbebas secara dahir dan tertaklif secara batin”. Untuk lebih paham مجبورا باطنا مختارا ظاهرا, perbuatan manusia dibagi menjadi dua bagian; Idhthirâri dan Ikhtiâri.
Idhthirâri adalah perbuatan yang diciptakan Allah tanpa didasari ikhtiar manusia, seperti diamnya gunung dan gemetar orang yang ketakutan. Dalam kitab Syarhu Jauharatit-Tauhîd, Idhthiari merupakan sesuatu yang tidak ditaklif secara qath’i, atau suasana yang sepenuhnya diciptakan oleh Allah, yang wewenang manusia tidak ada dalam keadaan ini. Jadi, manusia tidak bisa mengontrol suasana gunung diubah berguncang ketika disuruh, misalnya. sebab suasana gunung tampak diam adalah kuasa Allah manakdirkan gunung tersebut untuk tidak berguncang.
Adapun Ikhtiâri merupakaan keadaan yang dipelantarakan perkara wujud. Lebih tepatnya, sesuatu yang bisa dilakukan manusia secara ikhtiar. Seperti menggerakkan tangan dan berjalan. Di Ikhtiari, manusia bisa memilih perbuatan; dilakukan atau tidak. Ada wewenang manusia atas perbuatannya. Namun meski demikian, perlu diketahui bahwa dibalik iu tetap ada kuasa Allah yang menakdikan seseorang mengerjakan perbuatan tersebut.
Dari sini bisa dipahami, tedapat dua pandangan Ahlusunah mengenai perbuatan. Jika perbuatan tersebut tidak bisa dikontrol oleh manusia, disebut Idhthirâri. Adapun perbuatan yang bisa dilakukan manusia secara zahir sesuai wewenangnya, disebut sebagai Ikhtiâri, yang hakikatnya merupakan ciptaan Allah Swt.
Perlu diperhatikan, ada dua kudrat di Ikhtiâri; kudrat Allah yang menciptakan dan kudrat hamba yang mewujudkan. Meskipun Ikhtiâri bisa dilakukan secara memilah, manusia tetap tidak kuasa menciptakannya secara penuh. Sebab secara hakikat, segala hal diciptakan oleh Allah. Hal ini sesuai firman-Nya di surah al-Baqarah;
لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ ۗ وَاِنْ تُبْدُوْا مَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اَوْ تُخْفُوْهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللّٰهُ ۗ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Jika kamu nyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkannya (tentang perbuatan itu) bagimu. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengazab siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah; 284)
Oleh karena itu, bila perbuatan menusia jika disebut tercipta atas wewenangnya yang berbarengan dengan takdir Allah, maka bisa dibenarkan. Dengan catatan, bahwa manusia tidak sepenuhnya menciptakan perbuatan sesuai wewenang sendiri. Ada takdir Allah dalam segala perbuatan manusia. Di kitab Hasyitus-Syinwani ‘Ala Ittihafil-Murid Syarhu Jauharatit-Tauhîd, hlm. 380 disebutkan;
…أَنَّ الْقَادِرَ وَهُوَ الْعَبْدُ لَايَصِحُّ إِنْفِرَادُهُ بِإِيجَابِ ذَلِكَ الْمَقْدُورِ, بَلْ الْمَوْجُودُ وَالْمُؤَثِّرُ هُوَ اللَّهُ وَحْدَهُ, فَالْحَرَكَةُ مَثَلًا ارْتِبَاطٌ بِهَا قُدْرَتَانِ: قُدْرَةٌ وَيُقَالُ لِهَذَا الْإِرْتِبَاطِ إيجَادٌ وَخُلُقٌ, وَقُدْرَةُ الْعَبْدِ وَيُقَالُ لِإِرْتِبَاطِهَا كَسْبٌ…
“…Menyandarkan Qâdir kepada hamba tidak tepat disebut kekuasaan, melainkan yang Maha Mewujudkan dan Mu’atstsir adalah Allah saja. Adapun dalam perbuatan, ada gabungan dua kudrat: kuasa Allah (kudrat-Nya) untuk menciptaan, dan kemampuan hamba untuk mengerjakan (mewujudkan perbuatan yang tampak bagi manusia…”
Senada penuturan di atas, Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri manafsiri dua kudrat tersebut bukan sebagai keadaan baru, melaikan terciptanya iradat hamba. Syekh Muhammad bin Ali bin Mansur as-Syinwani as-Syafi’i menukil pernyataan Imam as-As’ari, bahwa al–muatstsir ialah Allah dengan Kudrat-Nya, sedangkan hamba ialah sandarannya.
Di kitab Syarhus-Shawi ‘Ala Jauharatit-Tauhîd, hlm. 241 disebutkan;
فِعْلٌ إِخْتِيَارِيٌّ: وَهُوَ فِعْلُ اللَّهِ ايْضًا لَكِنْ بِاعْتِبَارِ الْإِيجَادِ, وَيُنْسَبُ لِلْعَبْدِ بِاعْتِبَارِ الْكَسْبِ, وَهُوَ تَعَلُّقُ الْقُدْرَةِ الْعَبْدِ لِابْقُدْرَتِهِ وَإِرَادَتِهِ. فَمِنْ عَظِيمِ قُدْرَتِهِ تَعَالَى إِيجَادُ الْفِعْلِ عِنْدَ قُدْرَةِ الْعَبْدِ…
Pekerjaan ikhtiar berasal dari Allah atas mewujudkan, kemudian dinisbatkan kepada hamba untuk dilakukan, yang (îjâd-nya) dikaitkan pada kudrat hamba, bukan (îjâd pekerjaan tersebut) atas Kudrat dan Iradat Allah. Menjadi keagungan Kudrat Allah kuasa mewujudkan pekerjaan atas nisbat kudrat hamba…
Agus Hidayat | Annajahsidogiri.id