Memang betul pluralisme berkembang mencuat di Barat, tapi perlu diketahui, bahwa istilah ini tidak di kenal dalam teologi resmi gereja pada awal kemunculannya (Wajah Peradaban Barat, hlm. 334). Entah siapa yang pertama kali memunculkan istilah tersebut. Namun yang pasti, Jonh hick -salah satu aktor utama pendukung pluralism- menyatakan, hendaknya pemahaman keagamaan saat ini berubah seperti teori corpenican revolution.
Mulanya dalam dunia astronomi, orang-orang meyakini bahwa matahari bergerak mengelilingi planet-planet. Kemudian, berubah menjadi matahari yang dikelilingi bumi dan planet lainnya. Demikian pula, mindset orang-orang tentang agama mereka. Hendaknya dibalik; yang awalnya percaya bahwa setiap agama dikelingi oleh tuhan masing-masing, menjadi hanya ada satu tuhan yang dikelilingi oleh agama-agama (Minhaj, hlm. 2).
Artinya, pluralisme adalah paham bahwa tuhan semua agama sama. Jadi, tidak boleh ada yang merasa bahwa agamanya yang paling benar. Beda jalan namun satu tujuan. Model pikiran semacam inilah kemudian dicaplok dan diambil oleh kalangan liberalis Islam yang pada gilirannya melahirkan istilah-istilah seperti Islam inklusif, Islam eksklusif, Islam pluralis, dan lain-lain (Misykat, hlm. 143).
Baca Juga : Akar Pluralisme Agama
Tidak sampai di situ, mereka lalu mencarikan juntifikasinya dalam Islam atau al-Qur’.an, dengan cara membuat tafsiran-tafsiran nyeleneh yang baru. Tidak pernah ditemukan dalam kitab-kitab tafsir baik yang klasik ataupun kontemporer. Termasuk diantara yang sering dibuat dalih mereka untuk membenarkan paham tersebut adalah ayat ke-19 dari surah Ali Imran berikut:
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam” (QS. Ali Imran [3]: 19)
Biasanya liberalis memaknai ‘Islam’ dalam ayat tersebut secara etimologi (lughâh); sebuah kepatuhan atau ketundukan. Hasilnya, maksud dari ayat tersebut adalah bahwa agama yang diridai oleh Allah adalah agama yang mengajarkan ketundukan. Baik itu Keristen, Yahudi, dan agama lainnya. Sebab tak ada agama yang mengajarkan kepada pemeluknya untuk tidak tunduk atau patuh pada aturan agama tersebut.
Andai kita telisik dari kitab-kitab tafsir, tidak ditemukan satu pun interpretasi ulama tafsir yang menafsiri seperti yang dilakukan oleh orang liberal tersebut. Apalagi sampai membenarkan semua agama. Seykh Mutawalli as-Sya’rawi, misalnya, dalam kitabnya megatakan terkait tafsiran ayat di atas, ‘Bahwa ayat tersebut menunjukan tidak ada agama yang diridai oleh Allah kecuali satu, yaitu agama Islam’.
Senada dengan al-Mutawwali adalah Syekh Khatib asy-Syarbini dalam kitab yang bertajuk As-Sirâjul-Munîr fil-I’ânah ‘alâ Ma’rifati ba’dhil-ma’ânî Kalâm Rabinâ al-Hakim al-Khâbîr. Beliau Beliau mengutip ayat berikut sebagai penguat dalilnya:
وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًا
“Dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah [5]: 03)
Begitu juga dengan ulama tafsir lainnya, tidak jauh berbeda dalam menafsiri ayat tersebut. Syekh Ramadhan al-Buthi dalam Fiqhus-sîrâh an-Nabawiyyah (hlm. 35-36) menuturkan bahwa Islam merupakan agama semua utusan. Tiada Rasul atau Nabi diutus melainkan membawa satu risalah, yaitu Islam. Nabi Ibrahim misalnya, lanjut beliau mencontohkan, atau Nabi Yaqub, Isa, Musa dan lain sebagainya, dalam beberapa ayat al-Qur’.an disebutkan bahwa mereka adalah muslim[1].
Adapun agama selain Islam semisal Kristen atau Yahudi, itu semua tak lain dan tak bukan merupakan agama yang dibuat-buat sebab kedengkian mereka atau dalam redaksi al-Qurannya بَغْيًا . Hal ini dapat kita jumpai pada lanjutan ayat di atas :
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (Qs. Ali Imran [3]: 19).
Abd. Jalil | Annajahsidogiri.id
[1] (QS. Al-Baqarah [2]: 130-133), (QS. Al-A’raf [7]: 125-126), dan (QS. Ali Imran [3]: 52)