Kita tahu bahwa tahlilan dan ziarah kubur merupakan tradisi yang begitu mengakar kuat di kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia. Demikian itu adalah bentuk rasa kepedulian umat kepada sesamanya. Sebab, tujuan utama diselenggarakannya tahilan dan ziarah kubur adalah memohonkan ampun atau keringanan atas segala perbuatan buruk orang yang telah meniggal. Hal itu, dengan cara mentransfer atau menghadiahkan pahala dari amal dan bacaan yang kita kerjakan kepada si mayat tersebut.
Tentu praktik transfer pahala semacam ini telah berlangsung lama. Bahkan sejak masa Nabi Muhammad hingga tiga generasi salaf berikutnya, meski dengan model yang berbeda.
Terdapat setidaknya dua hadis yang dibuat landasan para ulama dalam menjustifikasi perktik tersebut:
Pertama, hadis Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah:
اِقْرَؤُوْا عَلَى مَوْتَاكُمْ يَس
“Bacalah surah Yâsîn terhadap orang yang meninggal di antara kalian”.
Baca juga : Hukum Hadiah Pahala kepada Ahli Kubur
Para ulama muhaqqiqun berpendapat bahwa hadis di atas berlaku umum. Artinya, baik dibacakan terhadap orang yang dalam keadaan sakratulmaut atau yang sudah meninggal di alam kubur. Demikian itu menunjukkan bahwa pahala dari bacaan semisal al-Quran yang diperuntukkan terhadap orang mati itu benar-benar sampai dan dibenarkan dalam Islam. (Al-Ajwibah al-Ghâliyah fî-‘Aqîdatil-Firqâh an-Nâjiah [hlm. 109])
Kedua, hadis riwayat Bukhari :
عَنْ عَبْدِ الله بِن عَبَاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ مَرَّ النَبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِيْ كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِيْ بِالنَمِيْمَةِ وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ فَدَعَا بِعَسِيْبِ رطبٍ فَشَقَّهُ ثُمَّ غَرَسَ عَلَى هَذَا وَاحِدًا وَعَلَى هَذَا وَاحِدًا ثُمَّ قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Dari Abdullah bin Abbas, ia menuturkan, “Nabi melewati dua kubur lalu bersabda, “Sesungguhnya kedua penghuni kubur ini sedang disiksa, dan keduanya disiksa bukan karena sesuatu yang besar. Salah satu dari keduanya biasa menyebarkan fitnah, sedang yang lain biasa tidak melindungi diri dari air kencing. Lalu Nabi mengambil ranting pohon kurma basah, kemudian dibelah menjadi dua, dileatakkkan ke masing-masing kuburan tersebut. Maka kemudian beliau berkata, ‘semoga hal ini dapat sedikit meringankan siksaannya selagi ranting tersebut belum kering’.
Mengomentari hadis di atas, Ibnu Mulaqqin berkata “Dengan hadis tersebut ulama kemudian menyatakan -seperti dikatakan Imam an-Nawawi dan lainnya- bahwa sunah membaca al-Qur’an di samping kuburan. Sebab, tasbih pelepah kurma saja bisa diharap dapat meringankan siksaan orang mati, apalagi membaca al-Quran”[1].
Selaras dengan komentar Imam Mulaqqin adalah pendapat Imam al-Khithabi, seperti yang dikutip oleh Syekh Umar Abdillah Kamil dalam kitab al-Inshâf (hlm. 585).
Imam an-Nawawi dalam kitab lain juga menuturkan:
قَالَ أَصْحَابُنَا رَحِمَهُمُ اللَّهُ وَيُسْتَحَبُّ لِلزَّائِرِ أَنْ يُسَلِّمَ عَلَى الْمَقَابِرِ وَيَدْعُوَ لِمَنْ يَزُورُهُ وَلِجَمِيعِ أَهْلِ الْمَقْبَرَةِ وَالْأَفْضَلُ أَنْ يَكُونَ السَّلَامُ وَالدُّعَاءُ بِمَا ثَبَتَ فِي الْحَدِيثِ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَأَ مِنْ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوَ لَهُمْ عَقِبَهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ
“Ulama Syafiiyah berkata, ‘Sunah mengucapkan salam bagi peziarah dan mendoakan mereka serta semua ahli kubur. Lebih utama jika bacaan salam dan doanya seperti yang dicontohkan dalam hadis. Begitupun sunah membaca al-Qur’an disertai doa setelahnya. Pendapat ini dinas oleh Imam as-Syafii dan disepakati ashâb.” (al-Majmu’ li an-Nawawi [5/286])
Sampai sini, kita jadi tahu bahwa praktik dalam tahlilan atau ziarah kubur yang sejatinya berupa transfer pahala kepada orang yang sudah mati dengan tujuan agar sedikit meringankan siksaan atas dosa yang diperbuat di dunia, jelas tidak bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan hal itu merupakan ajaran Islam tersendiri yang mesti kita jalani.
Abdul Jalil | Annajahsidogiri.id
[1] Keterangan ini disampaikan oleh Syekh Umar Abdillah dalam kitabnya al-Inshaf.