Salah satu ulama yang getol dalam memperjuangkan akidah Ahlusunah walJammaah adalah Imam Abu Bakar bin Muhammad bin at-Tayib bin Muhammad bin Jakfar bin al-Qasim al-Baqilani, atau yang lebih dikenal dengan Imam Abu Bakar al-Baqilani. Beliau lahir di derah Basrah pada tahun 338 H/950 M. Nisbat al-Baqilani sendiri merujuk pada pekerjaan ayahandanya sebagai penjual sayur-sayuran (al-baqila’).
Abu Bakar al-Baqilani kecil tidak sama dengan anak sebayanya. Kalau anak seumuran al-Baqilani lebih memilih untuk bersenang-senang, maka Abu Bakar al-Baqilani lebih memilih untuk menghabiskan masa kecilnya dengan belajar kepada para ulama Basrah. Kemudian, ia melanjutkan studinya ke daerah Bagdad yang pada waktu itu menjadi pusat keilmuan umat Islam. Setelah menyelesaikan studinya al-Baqilani menetap di Bagdad dan diangkat sebagai kadi dari para pembesar ulama Kalam, hingga al-Baqilani memegang jabatan kepemimpinan dalam mazhab Asyairah.
Al-Baqilani adalah seorang yang mempunyai cita-cita tinggi, wawasan yang luas, kuat ingatan, cerdas, serta sangat berwibawa di hadapan teman sebayanya. Al-Baqilani juga merupakan orang yang wara, beragama tinggi, dan mempunyai kehidupan yang mapan.
Baca Juga : Abaikan Akidah Abaikan Amaliah
Al-Baqilani adalah seorang kadi yang mempunyai hubungan erat dengan raja ‘Adudu ad-Daulah, bahkan beliau dianggap sebagai pemimpin kadi, yang menentukan dan mengangkat kadi bawahanya. Namun, meski mempunyai hubungan yang erat dengan pemerintah, al-Baqilani tidak pernah menggunakan kesempatan ini untuk meraih uang dan gaji yang tinggi. Beliau juga tidak pernah berbaur dengan para pejabat Negara. Justru, al-Baqilani memanfaatkan pangkatnya untuk berjuang membela akidah Ahlusunah wal Jamaah serta membungkam lisan-lisan aliran sesat yang merajalela pada waktu itu. Terbukti, al-Baqilani banyak melakukan perang pikiran dengan para pemuka aliran sesat, baik di kerajaan maupun desa-desa.
Al-Baqilani adalah benteng Aswaja. Ia tidak pernah merasa lelah demi memperjuangkan akidah yang benar sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad, baik dengan cara melakukan debat terbuka maupun dengan membuat karya tulis. Oleh karena itulah al-Baqilani di sebut sebagai Imam Asyari kedua, bahkan terkadang beliau dijuluki dengan Imam Abu Bakar al-Asyari.
Karena keahliannya inilah, tak ayal jika banyak ulama yang menyanjungnya. Imam al-Khatibi, misalnya, berkata: “Imam al-Baqilani adalah orang yang paling ahli dalam ilmu kalam, paling indah pituturnya, dan ungkapan-ungkapnnya sangat jelas. Beliau memiliki banyak karangan untuk menolak Muktazilah, Jahmiyah, Rafidah dan orang-orang ahli bidah. Ibnu Asakir juga memuji: “Imam al-Baqilani adalah benteng umat ini. Penganut aliran sesat tidak pernah senang seperti senangnya mereka ketika mengetahui kabar kewafatannya.”
Selain menguasai Ilmu kalam, al-Baqilani juga mengusai ilmu Ushul Fikih. Sebagaimana ia dianggap imam dalam ilmu Kalam, al-Baqilani juga dianggap sebagai imam dalam Ilmu Ushul Fikih. Diantara krangan beliau: al-Ushûl as-Shagîr, al-Ushûl al-Kabîr fî al-Fiqh, Masâilul-Ushûl, al-Mughnî fî Ushûlil-Fiqh, dll, yang menunjukkan bahwa al-Baqilani bukan hanya menukil dari kitab-kitab Asyairah saja, namun beliau juga menyempurnakan pembahasan-pembahsan yang tidak terdapat dalam turats Asyairah. Seperti pembahsan tentang al-Jauhar dan al-‘Ardl serta yang berkaitan dengan keduanya.
Al-Baqilani wafat pada hari Sabtu; sembilan hari terakhir bulan bulan Dzul Qadah 403 h/1013 M.
Sholahuddin AlAyyubi | Annajahsidogiri.id