Sebagai rukun iman yang keempat, kajian seputar kenabian tidak dapat absen dari pengetahuan umat Islam. Ia termasuk aspek yang penting untuk dipelajari dalam ilmu teologi Islam. Oleh sebab itu, penting kiranya bagi kita untuk mengetahui salah satu referensi khusus yang membahas secara detail mengenai hal-hal yang mengitari kenabian. Salah satu rekomendasi kitab yang mengupas tuntas persoalan-persoalan yang terjadi di seputar kenabian adalah An-Nubuah wal Anbiya’, ditulis oleh Syekh Muhamad Ali as-Syabuni.
Secara garis besar, kitab ini ditulis dengan pemetakan tujuh pasal. Pada pasal pertama, kajian mengarah ke pembahasan mengenai keterangan-keterangan tentang nabi, seperti definisi, mengapa nabi harus dari manusia, dan perbedaan nabi dan rasul.
Selanjutnya, pada pasal kedua, pengarang mulai membahas keistimewaan dakwah yang dilakukan oleh nabi. Tidak seperti seruan pada umumnya, yang banyak dilatarbelakangi oleh dorongan atau hasrat materi duniawi, dakwah kenabian murni menjalani perintah Tuhan, tanpa mengharapkan apapun selain rida-Nya. Ikhlas untuk menegakkan agama Islam, tidak termotivasi oleh kecintaan duniawi, serta menjadikan akhirat sebagai prioritas utama.
Selain itu, juga pasal ini juga menjelaskan tentang pengokohan terhadap keyakinan mengenai keesaan Allah plus dengan dalil-dalilnya. Penjelasan seputar sifat-sifat yang wajib dimiliki oleh seorang nabi ada pada bagian akhir pasal kedua ini.
Baca Juga: Imam Syiah itu Maksum, Benarkah?
Sama seperti pasal sebelumnya, uraian tentang sifat para nabi hadir dalam pasal ketiga. Hanya saja, kajian lebih mengerucut pada penjelasan sifat ‘ismah (kemaksuman). Kajiannya pun tentu lebih komprehensif dan lengkap. Awal pasal membahas nabi harus maksum beserta dalil-dalilnya, dan bagaimana logika berpikirnya. Kemudian disusul jawaban-jawaban atas ayat-ayat yang secara tekstualis menyiratkan bahwa nabi pernah mengerjakan maksiat, sehingga mendapat teguran langsung dari Allah.
Singkatnya, Syekh as-Shabuni, pada pasal tersebut, hendak membenahi pemahaman-pemahaman keliru orang-orang tentang kemaksuman nabi. Misal, cerita Nabi Muhammad ditegur oleh Allah sebab tidak menghiraukan seorang buta yang hendak meminta suatu penjelasan. Akhirnya, Allah menurunkan surah ‘Abasa untuk menjelaskan kepada beliau bahwa apa yang ia lakukan tidak benar.
Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian orang untuk menjustifikasi bahwa nabi pernah berbuat maksiat, sehingga tidak wajib bagi seorang nabi itu maksum. Namun, jika kita membaca kitab tersebut, akan kita temukan pandangan yang berbeda.
Dikatakan bahwa ketika itu, Nabi sedang bersama Abu Jahal bin Hisyam, Utbah bin Rabi’ah, dan juga pamannya, Abas bin Abdul Muthalib. Beliau mengajaknya dan sangat ingin agar mereka mau beriman. Akan tetapi, saat perbincangan, datang seorang lelaki buta meminta pejelasan suatu ayat. Akhirnya Nabi membiarkan lelaki buta tersebut, karena sedang sibuk mengurusi mereka. Namun tindakan beliau ini tidak dibenarkan oleh Allah, hingga akhirnya turunlah surah ‘abasa. Tetapi demikian itu bukanlah perbuatan maksiat, melainkan sesuatu yang tidak utama. Yang lebih utama memberikan penjelasan kepada lelaki buta tersebut. Yang pada intinya, semua perbuatan seorang nabi berkisar antara afdhal dan yang tidak afdhal.
Di pasal selanjutnya hingga pasal terakhir, kajian beralih ke penjelasan seputar kisah-kisah nabi yang tertuang dalam al-Qur’an. Di pasal keempat sendiri dijelaskan hikmah di balik cerita para nabi, tujuan keberadaan kisah itu sendiri dalam al-Qur’an, serta rahasia pengulangan cerita yang beragam dalam al-Qur’an.
Baca Juga : Para Nabi Maksum, Tetapi Kenapa Masih Tobat
Setelah itu, keterangan baru memasuki penjelasan tentang cerita para nabi yang ada dalam al-Qur’an. Dibuka dengan penjelasan sejarah Nabi Adam; mulai dari awal penciptaannya, ibrah yang bisa kita ambil darinya, dan juga bukti bahwa Nabi Adam merupakan manusia pertama yang diciptakan oleh Allah.
Adapun keterangan mengenai kisah para nabi, Syekh as-Shabuni membagikannya ke dalam dua pasal terakhir. Pada pasal keenam, ditampilkan kisah para nabi yang bergelar ulul-azmi. Sedangkan pada pasal ketujuh, berupa kisah-kisah para nabi yang tidak bergelar ulul-azmi.
Pada bagian penutup, diisi dengan ringkasan poin-poin penting dari penjelasan panjang-lebar di depan, seperti kesimpulan bahwa tidak semua nabi Allah ditampilkan dalam al-Qur’an. Ada begitu banyak nabi yang tidak kita ketahui, tetapi wajib kita imani meski secara global.
Alhasil, dengan penjelasan yang cukup lengkap beserta dalil-dalil yang otoritatif, pantas kiranya kitab ini menjadi salah satu referensi penting dalam mengenal seluk-beluk tentang kenabian dalam Islam.
Abd. Jalil | Annajahsidogiri.id