Mitos ari-ari bayi sudah menjadi sebuah tradisi yang melekat turun temurun di Indonesia. Mulai mengubur ari-ari dengan benda-benda tertentu, diberi lampu ketika malam hari, hingga ada sebagian masyarakat yang menaburkan bunga di atas pendaman ari-ari. Bagaimana sepatutnya kita menyikapi hal tersebut? Berikut ulasannya!
Tradisi Ari-ari dalam Akidah Islam
Di antara tradisi yang kini masih berlaku adalah mengubur ari-ari dengan benda-benda tertentu. Juga, dengan menyalakan lampu ketika malam hari. Mengenai anjuran penguburan ari-ari, Imam Syamsuddin ar-Ramli dalam Nihâyatul-Muhtâj sudah menjelaskan bahwa, sunah mengubur anggota badan yang terpisah dari orang hidup. Namun, hal yang kita bahas kali ini bukan tentang sunah dan tidaknya. Namun, mengenai beberapa keyakinan dan praktik masyarakat Nusantara pada sela-sela penguburan. Misal, menguburnya dengan benda-benda tertentu, memberi lampu ketika malam hari, dan lain sebagainya. Kita perinci satu persatu.
Memberi Lampu
Jika memberinya bertujuan menandai tempat tali pusar agar tidak diinjak, atau agar orang yang lewat tidak membuat kegaduhan. Alasannya dengan adanya kuburan ari-ari, orang yang lewat akan tahu bahwa dalam rumah tersebut ada bayi, sehingga orang itu tidak membuat kegaduhan. Tujuan tersebut tidak termasuk pekerjaan yang menyimpang, sehingga hal ini boleh. Beda halnya jika bertujuan menerangi peri yang menemani ari-ari atau mitos-mitos lain, maka hal demikian tidak boleh karena menyalahi akidah yang benar.
Baca hasil wawancara kami Klink
Mengubur dengan Benda-benda Tertentu
Misalnya, jika orang tua menginginkan buah hatinya menjadi anak pintar pada kemudian hari, ari-ari akan dikubur bersama pensil atau buku. Ada juga orang yang mengubur ari-ari dengan beras merah sebagai harapan agar anaknya kelak menjadi pribadi yang makmur. Bahkan, ada yang mengubur tulisan Arab berisi doa dengan harapan anaknya akan tumbuh menjadi anak yang sesuai dengan doanya tersebut. Semua ini dilakukan sebagai wujud harapan dari orang tua kepada si bayi. Oleh karenanya selama tidak ada keyakinan bahwasanya pensil yang menjadikan pintar, atau beras merah yang menjadikan makmur maka praktik atau tradisi ini tidak menyimpang.
Walhasil, adat atau tradisi semacam ini adalah sah-sah saja dan tidak masalah. Tentunya dengan catatan, adat atau tradisi tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama Islam, mempunyai tujuan mulia dan disertai niat ibadah karena Allah ﷻ. Begitu juga sebaliknya, jika sudah bertentangan dengan nilai-nilai luhur akidah Islam, seperti berkeyakinan sesuatu yang menyimpang maka bermasalah dan tidak boleh. Wallahu A’lam.
Ach. Shafwan Halim | Annajahsidogiri.id