Dalam Islam tidak semua macam pernikahan mendapat legalitas. Ada model penikahan yang terlarang, antara lain nikah mutah. Model nikah ini adalah nikah yang dibatasi limit waktu yang ditentukan oleh salah satu suami atau istri. Masyarakat Indonesia mengenal nikah model ini kawin kontrak.
Nah, perdebatan terkait hukum nikah model ini antara kalangan Aswaja dan Syiah, serta status hukumnya merupakan fokus pembahasan tulisan ini.
Nikah mutah versi Ahlusunah
Dalam Ahlusunah sendiri terdapat perbedaan ulama dalam mendefinisikan nikah ini. Menurut mayoritas ulama Aswaja nikah mutah adalah nikah yang terbatas waktu (mu’aqqat). Ibnu Abbas lain lagi. Beliau mendefinisikannya dengan nikah tanpa ada wali dan saksi. Meski berbeda definisi, ulama Aswaja sepakat bahwa kawin kontrak haram. Hal ini karena berdasarkan hadis riwayat Jabir R.A. Rasulullah bersabda;
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kalian nikah mutah. Ketahuilah, sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat. Maka barang siapa telah memiliki istri mutah, maka lepaskanlah. Jangan kalian mengambil sedikitpun dari yang telah kalian berikan (HR. Muslim).
Pada masa Rasulullah ﷺ, nikah mutah mengalami beberapa kali perubahan hukum, dua kali diperbolehkan dan dua kali dilarang, dan akhirnya haram untuk selamanya. Abuya Sayid Muhammad al-Maliki dalam kitabnya; Syari’atullah al-Khalidah menjelaskan;
نِكَاحُ الْمُتْعَةِ هُوَ نِكَاحٌ إلَى أَجَلٍ يَشْتَرِطُهُ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ ، وَكَانَ مُبَاحًا لِضَرُوْرَةِ الْغَزْوِ وَالسَّفَرِ ثُمَّ نُهِيَ عَنْهُ فِى غَزْوَةِ خَيْبَرَ ثُمَّ أُبِيْحَ ثُمّ نُهِيَ عَنْهُ فِى غَزْوَةِ الْفَتْحِ ثُمَّ أُبِيْحَ فِى غَزْوَةِ أَوْطَاسٍ بَعْدَهَا ثَلاَثَةَ أيَّامٍ ثُمَّ مُنِعَ ، وَكَانَ ذَلِكَ سَنَةَ ثَمَانٍ فَلَمْ يُبَحْ بَعْدَ ذَلِكَ
“Nikah mutah adalah nikah yang dibatasi oleh waktu yang telah disyaratkan oleh salah satu mempelai. Dulu nikah Mutah boleh hukumnya karena ada darurat perang dan perjalanan (jauh), kemudian terlarang ketika peristiwa perang Khaibar, kemudian diperbolehkan, kemudian dilarang ketika peristiwa penaklukan Kota Mekkah, kemudian diperbolehkan selama tiga hari setelah perang Authas, kemudian terlarang. Larangan itu pada tahun delapan hijriah dan tak pernah diperbolehkan setelahnya.”
Pada masa shahabat, larangan Rasulullah SAW pada dasarnya tetap menjadi pegangan mayoritas shahabat. Akan tetapi, ada sedikit peselisihan pendapat antara mereka, tetapi pada akhirnya mereka sepakat tentang keharaman kawin kontrak ini.