Maksiat merupakan perbuatan kotor, keji, dan hina. Oleh karena itu, syariat Islam mewajibkan penganutnya untuk membenci segala bentuk kemaksiatan dan pelakunya. Dalam kitab Sullamut-Taufîq ilâ Mahabbatillâh ‘alât-Tahqîq, Sayid Abdullah Ba’alawi menyatakan bahwa di antara kewajiban hati seorang mukmin adalah membenci pelaku maksiat, dalam artian membenci pelaku maksiat karena kemaksiatan yang mereka kerjakan, sebab kemaksiatan merupakan sesuatu kotor yang hanya diberikan kepada musuh-musuh Allah dan orang-orang yang hatinya penuh penyakit. Begitu penambahan dari Syeikh Muhammad bin Salim Bafaishol asy-Syafi’i dalam kitab Is’âdur-Rafîq.
Bukan hanya membenci, bahkan umat Islam wajib mencegah kemaksiatan atau kemunkaran yang ia jumpa sesuai tingkatan kemampuannya. Apabila ia mampu mencegahnya dengan melakukan suatu tindakakan, maka ia wajib melakukannya, atau jika hanya mampu melalui ucapan, maka itulah yang harus ia kerjakan, dan jika tidak bisa melakukan apa-apa , cukup menginkari kemaksiatan tersebut dengan hati saja. Sebagaimana hadis riwayat Abi Said al-Khudri berikut:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإيمَانِ
“Barangsiapa dari kalian yang melihat kemunkaran maka uabahlah dengan tangannya (kekuasaan), jika tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan hal itu merupakan paling lemahnya iman.” (HR.Muslim)
Kendati umat Islam wajib membenci kemunkaran, bahkan harus berupaya untuk mencegah kemunkaran tersebut, kita tetap harus rida pada takdir yang telah terjadi. Rida bukan berarti diam dan meridai maksiat yang dilakukan, melainkan dengan tidak mempersoalkan takdir yang telah terjadi disertai keyakinan bahwa itu semua mengandung hikmah yang tidak manusia ketahui. Imam al-Khayali dalam kitabnya berkata:
“Kufur dan maksiat memiliki dua sisi. Sisi pertama, bahwa keduanya merupakan ketentuan dan keputusan dari Allah. sisi kedua, bahwa keduanya merupakan sebuah pekerjaan yang dilakukan oleh seorang hamba. Maka wajib rida pada sisi pertama (keduanya adalah takdir Allah) bukan dari sisi kedua (keduanya merupakan pekerjaan hamba).”
Dengan demikian, ketika terjadi suatu kemaksiatan di hadapan kita, ada dua sikap berbeda yang harus dicerminkan oleh setiap orang beriman. Yaitu ingkar dan rida. Ingkar artinya mengingkari perbuatan tersebut, rida artinya tidak mempertanyakan atau memendam perasaan tidak terima atas terjadinya kemungkaran tersebut, sebab sejatinya hal itu adalah takdir Allah.
Biarpun begitu, Islam menganjurkan kita untuk tetap mengasihani para pelaku maksiat. Karena bagaimanapun, mereka adalah saudara kita sesama muslim. Banyak teladan dari para ulama salaf yang memerintah kita untuk mengasihi para pelaku maksiat. Hal ini tidak lain agar mereka bertaubat dan kembali ke jalan yang benar. Imam asy-Syakrani dalam kitab Tanbîhul-Mughtarrîn menyebutkan bahwa di antara akhlak ulama salaf adalah mengasihi dan tidak mencela pelaku maksiat. Mereka berpandangan bahwa hal demikian merupakan doa terbaik bagi pelaku maksiat.
Senada dengan pernyataan asy-Syakrani, Imam Mutharrif bin Abdillah Shikhkhir al-Amiri al-Harasyi al-Basri; salah satu tokoh senior kalangan Tabiin, berkata:
مَنْ لَمْ يَجِدْ فِيْ نَفْسِهِ رَحْمَةً لِلعَصَاةِ فَلْيَدْعُ لَهُمْ بِالتَّوْبَةِ وَالْمَغْفِرَةِ فِإِنَّ مِنْ أَخْلَاقِ الْملَاَئِكَةَ الإِسْتِغْفَارُ لِمَنْ فِي اْلأَرْضِ
“Jika seseorang tidak memiliki rasa simpati terhadap pelaku maksiat maka sebaiknya dia berdoa saja untuk mereka agar segera bertobat dan memohon ampunan. Sebab, di antara akhlak para malaikat adalah meminta ampunan untuk penduduk bumi.”
Bahkan, salah satu ulama sufi; Imam Syaqiq bin Ibrahim al-Bakhli, mengatakan bahwa orang yang mendengar penyebutan lelaki yang buruk, lalu ia tidak peduli untuk berbelas kasih padanya maka ia lebih jelek dari pada orang tersebut.
إِذَا ذُكِرْتَ رَجُلَ السُّوْءِ فَلَمْ تَهْتَم لَهُ تَرَحُّمًا فَأَنْتَ أَسْوَأُ مِنْهُ
“Ketika dituturkan kepadamu laki-laki yang buruk (kelakuannya) dan kamu tidak peduli seraya berbelas kasihan kepadanya maka kamu adalah orang yang lebih buruk darinya.”
Pendapat beliau-beliau di atas, sejatinya selras dengan sabda Rasulullah:
إِذَا رَأَيْتُمْ أَخَاكُمْ قَدْ أَصَابَهُ جَزَاءٌ فَلَا تَلْعَنُوهُ وَلَا تُعِينُوا عَلَيْهِ الشَّيْطَانَ وَلَكِنْ قُولُوا اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ
“Jika kalian melihat saudara kalian dihukum maka janganlah kalian melaknatnya dan janganlah kalian membantu setan, tetapi katakanlah, ‘Semoga Allah merahmatinya dan semoga Allah menerima taubatnya’.”
Nabi Isa juga menegaskan:
لَا تَنْظُرُوْا إِلَى عُيُوْبِ النَّاسِ كَأَنَّكُمْ أَرْبَابٌ وَانْظُرُوْا إِلَيْهَا كَأَنَّكُمْ عَبِيْدٌ وَارْحَمُوْا صَاحِبَ اْلبَلَاءِ وَاحْمَدُوْا صَاحِبَ اْلعَافِيَةِ
“Janganlah kalian melihat keburukan orang lain layaknya kalian tuhan, tetapi lihatlah layaknya kalian hamba hina. Bersimpatilah kepada orang yang terkena kesusahan dan pujilah orang yang mendapat kelapangan.”
A. Sholahuddin Al-Ayyubi | Annajahsidogiri.id