Seringkali kita mendengar kicauan yang seolah tampak meyakinkan, tetapi di baliknya penuh dengan penyesatan. Demikian seringkali dipakai oleh firkah-firkah Islam di luar Ahlusunah Waljamaah. Ambil contoh Wahabi, mereka dalam hampir seluruh kicauannya menghadap-hadapkan setiap persoalan dengan bidah; sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh Nabi. Dengan slogan “hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi” ini menganggap semua yang ditinggalkan oleh Nabi pasti bidah dan haram. Padahal tidak semua yang ditinggalkan Nabi itu berarti tak boleh dikerjakan lantas meniscayakan hukum haram.
Kalau tidak percaya, simak ulasan berikut ini!
Dalam bahasa Arab, “meninggalkan” disebut dengan “tarku”. Sedang kata “matruk”berarti sesuatu yang ditinggalkan atau tidak dikerjakan. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah suatu perkara yang ditinggalkan oleh Nabi tanpa ada keterangan hadis baik lisani atau qauli yang melarangnya. Membahas konsekuensi dari “tarku”, Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhallâ juz 2 hlm. 36 menyampaikan:
وَأَمَّا حَدِيثُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فَلَا حُجَّةَ فِيهِ أَصْلًا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهِ إلَّا إخْبَارُهُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – بِمَا عَلِمَ؛ مِنْ أَنَّهُ لَمْ يَرَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صَلَّاهُمَا، وَهُوَ الصَّادِقُ فِي قَوْلِهِ، وَلَيْسَ فِي هَذَا نَهْيٌ عَنْهُمَا، وَلَا كَرَاهَةٌ لَهُمَا؛ وَمَا صَامَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – قَطُّ شَهْرًا كَامِلًا غَيْرَ رَمَضَانَ؛ وَلَيْسَ هَذَا بِمُوجِبٍ كَرَاهِيَةَ صَوْمِ شَهْرٍ كَامِلٍ تَطَوُّعًا
“Ucapan Ali bahwa ia tak pernah melihat Nabi salat dua rakaat setelah Ashar hanya pemberitahuan, bukan malah menjadi dalil larangan ataupun kemakruhan. Begitupun terkait hadis bahwa Nabi tidaklah berpuasa sebulan penuh selain bulan Ramadan, juga tidak menjadi dalil akan kemakruhan puasa sunah sebulan penuh di bulan lain.”
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa hal-hal yang ditinggalkan Nabi tidak lantas melahirkan hukum haram. Adanya hukum haram berlaku jika memang ada nash atau dalil al-Qur’an atau hadis yang dengan jelas melarang hal tersebut.
Bersebab haram termasuk hukum taklifi, para ulama Ushul Fikih menjelaskan beberapa ciri teks al-Qur’an atau hadis yang dapat membuahkan hukum haram, termasuk di antaranya:
1. Larangan (nahyu)
Dalam al-Qur’an biasanya bentuk pelarangan tersebut menggunakan sighat la nahi. Ketentuan ini berlaku (menghasilkan hukum haram) jika memang qath’i fil-ma’na wa dalâlah atau pasti dari segi makna (tidak multitafsir) dan indikasinya. Contoh:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.”
Ayat di atas secara pasti (qath’i) menunjukan keharaman melakukan zina, di manapun dan kapanpun.
2. Pengharaman (tahrim)
Secara bahasa kata “tahrim” bermakna haram sehingga penjelasan suatu teks dari nas al-Qur’an maupun hadis yang menggunakan sigat tersebut jelas menunjukan hukum haram. Seperti contoh:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.”
Dengan sangat gamblang Allah melarang memakan makanan seperti yang tertera pada ayat di atas; bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan berikut seterusnya dengan menggunakan sighat ‘tahrim’.
3. Ancaman Mengerjakannya (al-wa’du bil-‘iqâb)
Ciri teks ketiga yang membuahkan hukum haram adalah adanya suatu ancaman berupa dosa atau hukuman dari Allah ketika perbuatan itu kerjakan. Misalnya dalam pembahasan pencurian:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Pencuri (laki-laki) dan pencuri (wanita), potonglah tangan-tangan mereka.”
Konsekuensi hukuman potong tangan bagi seorang pencuri sesuai penjelasan ayat di atas menunjukan keharaman mencuri.
Untuk menguatkan pendapat bahwa apa yang ditinggalkan oleh Nabi tidak selalu menelurkan hukum haram, penting bagi kita untuk menyimak pemaparan Dr. Umar Abdullah Kamil dalam kitabnya; al-Inshâf fî mâ Utsîrâ haulahul-Khilâf. Beliau mengatakan bahwa ada beberapa dalil yang dijadikan landasan kaidah “at-tarku lâ yufîdut-tahrîm” atau meninggalkannya Nabi mengerjakan sesuatu tidak menjadikan sesuatu tersebut haram dikerjakan:
Pertama, penetapan hukum haram harus dilandasi nas yang menghukuminya haram; baik dengan menggunakan sigat nahi, memakai lafaz tahrim, dicela oleh Allah, ada ancaman berat atau ringan bagi pelakunya, dan berada di bawah kaidah yang dapat menghasilkan hukum haram.
Kedua, Allah berfirman dalam al-Quran:
وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا وَاتَّقُوا اللّٰهَ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.”
Jelas sekali Allah melalui ayat tersebut memerintah kita untuk menjahui apa yang dilarang Nabi Muhammad saja, bukan apa-apa yang ditinggalkan olehnya. Senada dengan ayat tersebut apa yang disampaikan oleh Nabi dalam sabdanya:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ؛ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
“Apa saja yang aku larang kalian darinya maka jauhilah, dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah semampu kalian, karena sesungguhnya yang telah membinasakan orang-orang yang sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan dan penyelisihan terhadap para nabi mereka.”(H.R. Bukhari-Muslim)
Ketiga, tidak ada satupun ulama Ushul Fikih yang mengatakan bahwa “tarku” sebagai dalil yang menunjukan atas keharaman sesuatu. Tidak juga ketika mereka memaknai sunah Nabi Muhammad.” (al-Inshâf fî mâ Utsîrâ haulahul-Khilâf juz. 2 hlm. 410)
Alhasil, dari pemaparan panjang di atas dapat disimpukan bahwa dengan alasan Nabi tidak pernah mengerjakannya bukan berarti hal itu mutlak haram dikerjakan.
Abd. Jalil | AnnajahSidogiri.id