Dari sekian banyak firkah Islam yang ada, hanya ada satu kelompok yang paling getol membidahkan bahkan mengkafirkan firkah lain. Bahkan dapat dikatakan layangan takfir sudah menjadi ciri khas bagi mereka. Tentu kita akan bertanya-tanya mengapa demikian mudah mereka mengecap sesat atau kafir kelompok lain, khusunya kelompok Sunni. Di sini penulis akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut.
Pada dasarnya, munculnya tuduhan kafir sebab mereka gagal memahami ajaran Islam. Bila kita telusuri, pangkal atau sumber tuduhan kafir tersebut bermuara pada satu persepsi yang berangkat dari pemahaman mereka terhadap salah satu ayat, yakni surah az-Zumar ayat 39:
وَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءَۘ مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰىۗ اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِيْ مَا هُمْ فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ ەۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِيْ مَنْ هُوَ كٰذِبٌ كَفَّارٌ
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka (berhala) mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar [39]: 3)
Di sini Wahabi menganggap bahwa para pelaku tawasul atau tabaruk sama seperti kafir Makkah yang menyembah berhala. Ketika mereka ditanya alasannya, mereka menjawab “Tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah”. Mereka (kafir Makkah) percaya bahwa Zat Pencipta serta Pengatur Alam Semesta adalah Allah. Akan tetapi, mereka ditegor oleh Allah karena dianggap telah menyekutukan-Nya dengan menyembah berhala, meski tujuannya mulia, yaitu taqarrub kepada Allah.
Dengan begitu tak ada bedanya dengan praktik tawasul yang juga ditujukan sebagai perantara agar lebih dekat dengan Allah. Pertanyaannya, Bagaimana kita menyikapi hal ini?
Bila kita cermati, sebenarnya kesalahan Wahabi terletak pada penyamaan tawasul dengan praktik penyembahan kafir Makah kepada berhala. Disebutkan pada ayat di atas bahwa Allah mengecam peraktik tersebut karena dianggap telah menyekutukan-Nya. Padahal, antara tawasul dan pemujaan jelas tidak sama. Menyembah dengan bertawasul adalah dua hal yang sangat berbeda. Menyembah berarti memercayai bahwa yang disembah dapat memberikan manfaat atau mudarat. Sedangkan dalam tawasul, sama sekali tidak meyakini bahwa yang dibuat perantara dapat memberikan manfaat atau mudarat.
Baca Juga : Legalitas Tawasul
Untuk itu, penting kiranya bagi kita untuk mengetahui keriteria-keriteria tawasul agar tidak gagal paham seperti yang terjadi kepada kelompok Wahabi. Dalam kitab “Mafâhim Yajibu an Tushahhah”, buah karya Sayid Alawi al-Maliki, disebutkan setidaknya ada empat empat hal yang harus diperhatikan oleh para pelaku tawasul:
Pertama, bahwa tawasul merupakan salah satu di antara cara berdoa. Maka, yang menjadi tujuan utama adalah Allah. Sedangkan “Mutawassal bih, perkara yang dijadikan tawasul” hanyalah sebagai perantara.
Kedua, bahwa yang dijadikan perantara merupakan kekasih-Nya.
Ketiga, bila si pelaku tawasul beriktikad bahwa yang dijadikan perantara dapat memberikan manfaat atau mudarat, berarti ia telah kafir.
Keempat, bahwa tawasul bukanlah merupakan suatu kewajiban atau keniscayaan, dan terkabulnya suatu doa sama sekali tidak butuh pada tawasul. Bahkan hakikat tawasul adalah murni doa.
Untuk lebih menguatkan bahwa anggapan Wahabi itu sangat keliru adalah penjelasan Syekh Mutawalli as-Sya’rawi dalam kitabnya; Tafsir as-Sya’râwi bahwa perkataan kafir Makkah itu hanyalah sebuah apologi atau pembelaan. Artinya, mereka tidak benar-benar bertujuan mendekatkan diri kepada Allah. Kalimat ‘Agar lebih dekat dengan Allah’ itu diucapkan karena mereka dalam keadaan terdesak, tidak memiliki hujah atas perbuatan mereka berupa pemujaan terhadap berhala. Berikut redaksi Arabnya:
ثُمَّ ذَكَرَ سُبْحَانَهُ مَقَابِلَ اِخْلَاصِ اْلعِبَادَةِ للهِ فَيَقُوْلُ (وَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءَۘ) قَائِلِيْنَ وَمبررين مَوْقِفَهُمْ حِيْنَ يَتَبَيَّنُ لَهُمْ كِذْبَهُمْ فِيْ عِبَادَةِ مَا دُوْنَ اللهِ وَحِيْنَ تَقُوْلُ لَهُمْ اِنَّ هَذِهِ الالهة لَا تَرَى وَلَا تَسْمَع وَلَا تَضُر وَلَا تَنْفَع وَحِيْنَ تَضِيْقُ عَلَيْهِمْ الخنَّاقُ يَقُوْلُوْنَ (مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰىۗ)
“Kemudian Allah menyebut kebalikan dari ikhlas dalam menyembah-Nya, lalu Allah berfirman, ‘Mereka yang menjadikan selain-Nya sesembahan’. Ketika tampak kebohongan mereka dengan menyembah selain Allah, dan ketika kau berkata kepada mereka bahwa apa yang disembahnya tidak bisa melihat, mendengar, dan memberikan bahaya juga manfaat, dan ketika mereka sudah tak mampu menyanggah maka mereka berkata, ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka (berhala) mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (Tafsir asy-Sya’râwî juz 15 hal. 334)
Walhasil, dari penjelasan singkat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa apa yang dianggap kafir oleh orang-orang Wahabi sejatinya tidak demikian. Mereka hanya gagal paham di dalam membedakan bertawasul dengan menyembah . Wallahu A’lam.
Abd.Jalil | annajahsidogiri.id