Pancasila Sebagai Implementasi Nilai Khilafah
Setelah Turki Utsmani dengan sistem Khilafahnya berakhir pada 3 Maret 1924, beberapa kalangan menilai peran Islam dalam pentas politik global selama lebih dari 13 abad juga berakhir. Keberadaan umat Islam mulai kala itu kian terpuruk, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, budaya, sains-teknologi maupun yang lainnya. Selain itu, “penjajahan modern” yang dilancarkan Barat terhadap dunia Islam disinyalir menjadi faktor penting yang membangkitkan euforia “kerinduan” beberapa kelompok umat Islam terhadap sistem khilafah Islamiyah yang pernah mengantarkan kejayaan Islam pada masa silam. Sejak saat itulah mulai bermunculan term “khilafah” menjadi isu harakah (pergerakan) Islam dengan misi dan agenda politik membangun kembali daulah Islamiyah internasional.
Di Indonesia, benih ide khilafah sudah ada sejak awal kemerdekaan, baik yang bersifat konstitusional, seperti Majelis Konstituante; atau bersifat militer, seperti dalam kasus DI/TII, yang berusaha mendirikan negara Islam dan menolak Pancasila. Era reformasi ’98 yang memberikan ruang kebebasan publik, menjadikan isu khilafah di Indonesia kian vulgar dan menemukan momentumnya. Pembicaraan-pembicaraan yang mewacanakan khilafah semakin intens dan terbuka dikampanyekan, baik lewat opini-opini pemikiran maupun gerakan nyata. Seperti mewacanakan Islam sebagai solusi dan ideologi alternatif mengusahakan bentuk pemerintahan Indonesia dari negara kesatuan berformat republik menjadi khilafah, berikut konstitusi negara sejak dari Undang-Undang Dasar 1945 dan hukum positif diangkat dari syariat Islam seutuhnya.[1]
Namun, perjuangan-perjuangan tersebut nyaris tidak menemukan angin segar. Banyak kalangan yang menganggap bahwa khilafah Islamiyah dapat merusak keutuhan negara dan kesatuan NKRI. Kalangan yang “anti-khilafah” berpandangan bahwa negara Indonesia tidak memerlukan sistem tersebut karena ideologi pancasila yang telah dirumuskan berdasarkan kesepakatan bersama sudah hal yang final dan tidak dapat diganggu gugat. Hal ini kemudian menjadi topik ramai diperbincangkan yang pada akhirnya hanya melahirkan perdebatan tak berujung. Namun, apabila kita cermati ulang, perdebatan ini bermuara pada satu poros, yaitu benarkah khilafah Islamiyah bertentangan dengan pancasila dalam konteks penerapannya? Sudahkah Pancasila dalam penerapannya sesuai dengan khilafah Islamiyah? Dari dua pertanyaan inilah yang menurut hemat penulis menjadi akar pro-kontra khilafah di Indonesia yang kiranya perlu diskusikan dan dikaji lebih lanjut.
Baca Juga: Taat Pada Pancasila, Taat Pada Agama
Pancasila sebagai ideologi negara memiliki arti bahwa seluruh warga negara Indonesia menjadikan pancasila sebagai dasar sistem kenegaraan. Nilai-nilai yang ada pada setiap butir pancasila harus dijadikan sebagai pedoman dasar dalam melangsungkan kehidupan bernegara. Selain itu, pancasila sebagai ideologi negara juga bermakna menjadikan pancasila sebagai cita-cita atau visi. Hal ini tentunya berlaku untuk pemerintah dan seluruh warga negara. Pengertian ini juga tertuang di dalam Ketetapan MPR No.XVIII Tahun 1998 Pasal 1, yang bunyinya:
“Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.”[2]
Sebagai ideologi negara, tentu saja pancasila juga memiliki fungsi serta penerapan dan pengamalan akan nilai yang terkandung dari kelima sila. Salah satu penerapan yang sangat tampak bagi kita adalah terwujudnya kerukunan antar warga negara yang terdiri dari berbagai ras, suku, agama, dan bangsa sebagai wujud implementasi sila ke-3.
Dengan ditetapkannya pancasila sebagai dasar ideologi, hal ini kemudian menuntut akan adanya sebuah bentuk atau wadah sebagai sarana penerapan serta pengaplikasian ideologi tersebut. Dari sinilah kemudian muncul UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika yang kemudian menjadi asas dalam tata kenegaraan. Dalam perjalanannya, muncullah berbagai pemberlakuan norma-norma serta peraturan perundangan yang mengikat semua lini kehidupan masyarakat Indonesia dengan tetap berlandaskan ideologi pancasila. Sebagai contoh, setiap warga negara Indonesia dituntut untuk saling bertoleransi antar umat beragama sebagai bentuk perwujudan sila ke-1, pemilihan pemimpin yang dilaksanakan dengan pemungutan suara sebagai implementasi dari sila ke-4 dan lain sebagainya. Meskipun demikian, Indonesia dengan mayoritas penduduknya Islam tidak bisa kita pungkiri bahwa terdapat pula hukum-hukum konstitusi yang tidak sejalan dengan ajaran Islam itu sendiri. Semisal hukuman bagi orang yang mencuri, berzina, meminum minuman keras dan lainnya.
Baca Juga: Khilafah Tanpa Menafikan Eksistensi Negara Modern
Hal ini yang kemudian menjadi sebuah ironi ketika negara yang mayoritas muslim tidak menerapkan sistem syariat Islam. Maka tidaklah heran ketika kemudian terdapat kalangan yang kembali menyuarakan khilafah Islamiyah diterapkan di Indonesia. Mereka beranggapan bahwa pemerintahan yang sah adalah pemerintahan yang sesuai dengan manhaj An-Nubuwwah, yaitu berdirinya khilafah Islamiyah secara kafah. Hal ini menunjukkan bahwa seakan-akan sistem ideologi pancasila dengan anak telurnya tidak dapat mengimplementasikan makna dari khilafah Islamiyah.
Namun, jika kita kaji lebih dalam, bahwa sebenarnya khilafah Islamiyah tidaklah sesempit mendirikan sebuah negara dengan sistem pemerintahan yang berlandaskan syariat Islam. Namun, dalam makna yang lebih luas, khilafah Islamiyah adalah terwujudnya eksistensi negara yang diikuti oleh pemimpin yang mampu mengurusi, mengatur, dan menjaga keberlangsungan kehidupan umat Islam. Hal inilah yang disebut dengan daulah Islamiyah. Hal ini sesuai dengan keterangan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Fiqh al-Islami sebagai berikut.
الإمامة العظمى أو الخلافة أو إمارة المؤمنين كلها تؤدي معنى واحداً، وتدل على وظيفة واحدة هي السلطة الحكومية العليا. وقد عرفها علماء الإسلام بتعاريف متقاربة في ألفاظها، متحدة في معانيها تقريباً، علماً بأنه لا تشترط صفة الخلافة، وإنما المهم وجود الدولة ممثلة بمن يتولى أمورها، ويدير شؤونها، ويدفع غائلة الأعداء عنها.
“Istilah gelar seperti al-imamah al-’udhma, al-Khilafah, imaratu al-mu’minin, pada hakikatnya semua menunjuk makna satu, menunjuk pada tugas yang satu yaitu menguasai jabatan tertinggi pemerintahan. Ulama-Ulama Islam telah banyak memberikan definisi, yang keseluruhannya menunjukkan makna yang hampir sama (mutaqaribah), baik dalam lafal maupun maknanya. Itu semua merupakan pertanda bahwa sesungguhnya khilafah itu tidak memiliki syarat berupa sifatnya bagaimana, yang terpenting dari itu semua adalah eksistensi negara (terciptanya daulah Islamiyah) yang diikuti oleh adanya pemimpin yang mau mengurusinya, mengatur warganya, dan menolak segala ancaman yang datang dari musuh negara” [3]
Daulah Islamiyah adalah terwujudnya peradaban Islam di sebuah negara. Dalam artian syiar-syiar agama Islam bisa dilaksanakan dan terwujud di daerah tersebut tanpa adanya larangan. Hal inilah yang diutarakan oleh Imam Ad-Dahlawi yang dikutip oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami.[4] Dari sini bisa kita simpulkan bahwa pancasila sebenarnya sudah mampu mengimplementasikan khilafah Islamiyah. Namun, bukan dalam bentuk secara sempurna melainkan dalam segi nilai-nilai dasar dan bersifat prinsipiel karena terkendala beberapa faktor yang akan penulis jelaskan di atas.
[1] https://islam.nu.or.id/syariah/khilafah-dalam-pandangan-nu-v25vU
[2] Ketetapan MPR No.XVIII Tahun 1998 Pasal 1
[3] Al-Fiqh Al-Islami Wa Adilatuhu. Juz 8. Hlm. 270. Maktabah Syamilah
[4] Ibid.