Khilafah Dalam Konteks Indonesia
Islam sebagai agama komprehensif tidak mungkin melewatkan masalah negara dan pemerintahan dari agenda pembahasannya. Kendati tidak dalam konsep utuh, tetapi dalam bentuk nilai dan prinsip dasar. Islam memberikan panduan yang cukup bagi umatnya. Salah satunya adalah kewajiban mengangkat seorang pemimpin yang mengurus dan mengatur kehidupan masyarakat. Tanpa seorang pemimpin, kehidupan sebuah negara akan kacau dan amburadul. Hal ini menunjukkan kuatnya hubungan antara Islam dengan negara dan kepemerintahan sebagaimana disampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin :
وَخَلَقَ الدُّنْيَا زَادًا لِلْمَعَادِ لِيَتَنَاوَلَ مِنْهَا مَا يَصْلُحُ لِلتَّزَوُّدِ فَلَوْ تَنَاوَلُوْهَا بِالْعَدْلِ لَانْقَطَعَتْ الْخُصُوْمَاتُ وَتَعَطَّلَ الْفُقَهَاءُ وَلَكِنَّهُمْ تَنَاوَلُوْهَا بِالشَّهَوَاتِ فَتَوَلَّدَتْ مِنْهَا الْخُصُوْمَاتُ فَمَسَّتِ الْحَاجَةُ إِلَى سُلْطَانٍ يُسَوِّسُهُمْ وَاحْتَاجَ السُّلْطَانُ إِلَى قَانُوْنٍ يُسَوِّسُهُمْ بِهِ فَالْفَقِيْهُ هُوَ الْعَالِمُ بِقَانُوْنِ السِّيَاسَةِ وَطَرِيْقِ التَّوَسُّطِ بَيْنَ الْخَلْقِ إِذَا تَنَازَعُوْا بِحُكْمِ الشَّهَوَاتَ فَكََانَ الْفَقِيْهُ مُعَلِّمَ السُّلْطَانِ وَمُرْشِدَهُ إِلَى طُرُقِ سِيَاسَةِ الْخَلْقِ وَضَبَّطَهُمْ لِيَنْتَظِمَ بِاسْتِقَامَتِهِمْ أُمُوْرَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَعُمْرِيْ إِنَّهُ مُتَعَلِّقٌ أَيْضًا بِالدِّيْنِ لَكِنْ لَا بِنَفْسِهِ بَلْ بِوَاسِطَةِ الدُّنْيَا فَإِنَّ الدَّنْيَا مَزْرَعَةُ الْآخِرَةِ وَلَا يَتِمُّ الدِّيْنُ إِلَّا بِالدُّنْيَا وَالْمُلْكُ وَالدِّيْنُ تَوْأَمَانِ فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسَّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ وَلَا يَتِمُّ الْمُلْكُ وَالضَّبْطُ إِلَّا بِالسُّلْطَانِ وَطَرِيْقُ الضَّبْطِ فِي فَصْلِ الْحُكُوْمَاتِ بِالْفِقْهِ
“Dunia diciptakan sebagai bekal, sebagai tempat mencari sesuatu yang layak dijadikan bekal. Jika cara mencarinya dengan jalan adil maka sudah pasti tidak akan melahirkan permusuhan, sehingga posisi seorang yang paham agama menjadi tidak diperlukan lagi. Akan tetapi, kecondongan masyarakat berkata lain, mereka mencari dunia disertai syahwat, sehingga mengakibatkan lahirnya permusuhan. Di sinilah kemudian posisi seorang pemimpin dibutuhkan untuk mengatur. Untuk itu pula, seorang pemimpin membutuhkan sejumlah peraturan. Pada akhirnya, dari sini orang yang memahami agama tampil sebagai sosok yang mengetahui hukum pengaturan itu (siyasah) dan jalan untuk menengahi segala keperluan makhluk, yaitu saat mereka saling berbantah dengan masing-masing kepentingannya.
Baca juga: Politik Uang, Haramkah?
“Di sinilah kemudian seorang ahli fikih punya peran penting sebagai orang yang memberikan peringatan kepada pemimpin, menunjukkan cara menyiasati kepentingan masyarakat itu dan menetapkan batas aturan yang bisa diterima segenap pihak yang berkepentingan terkait dengan keduniaan masyarakat itu. Untuk penegakan pemerintahan, bagaimanapun juga ia selalu berkorelasi dengan agama, namun tidak secara utuh, melainkan dengan menjadikan dunia sebagai perantara, karena dunia merupakan ladang akhirat. Tidak sempurna suatu agama tanpa dunia. Baik pemerintahan maupun agama, keduanya berdiri saling melengkapi. Agama merupakan pondasi, sementara pemimpin adalah perawatnya. Segala sesuatu yang tidak memiliki pondasi akan mudah roboh. Demikian pula, sesuatu yang memiliki pondasi, tetapi tanpa ada yang merawat maka akan berlangsung sia-sia. Tidak akan berlangsung normal, suatu pemerintahan dan peraturan tanpa keberadaan seorang pemimpin. Cara satu-satunya penegakan peraturan dalam suatu pemerintahan tidak ada jalan lain melainkan dengan Fikih.”[1]
Dari paparan Imam al-Ghazali di atas, setidaknya tampak bagi kita betapa pentingnya mengangkat seorang pemimpin demi kelangsungan kehidupan umat manusia. Tidak heran banyak kita temukan keterangan wajib mengangkat seorang pemimpin (Nasbh Al- Imam). Imam al-Bajuri dalam kitabnya Tuhfatul-Murid menjelaskan bahwa kewajiban mengangkat seorang pemimpin merupakan kewajiban yang telah ditetapkan syarak sekalipun bukan termasuk rukun agama.[2] Meskipun demikian, Islam tidak menentukan apalagi mewajibkan suatu bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi pemeluknya.
Mau e-book gratis? klik di sini
Umat Islam diberi kewenangan sendiri untuk mengatur dan merancang sistem pemerintahan sesuai dengan tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan tempat. Namun yang terpenting suatu pemerintahan harus bisa melindungi dan menjamin warganya untuk mengamalkan dan menerapkan ajaran agamanya dan menjadi tempat yang kondusif bagi kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan.[3] Tak heran jika kita menemukan banyak negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim memiliki ideologi dan asas yang berbeda-beda dalam pengaplikasian dan kesesuaiannya dengan syariat Islam. Tanpa terkecuali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika sistem khilafah Islamiyah dipaksa diterapkan secara sempurna di Indonesia, bukan ketentraman yang akan dirasakan malah kekacauan yang timbul di mana-mana.
Sebagai contoh, ketika kita memaksa menerapkan had bagi orang yang mencuri, orang yang meminum miras, orang yang berbuat zina sedangkan sang pelaku bukanlah orang yang beragama Islam. Justru hal inilah yang akan menyebabkan mafsadah yang jauh lebih besar daripada didirikannya khilafah Islamiyah seperti terjadinya peperangan antar umat beragama dan stigma negatif tentang agama Islam yang akhirnya menyebabkan agama Islam sulit diterima di kalangan umum, pada ujungnya, berdampak pada tertutupnya dakwah Islam. Oleh karena itu, keutuhan NKRI menjadi hal yang wajib kita jaga dan kita lindungi karena pemerintah NKRI termasuk al-Mutawalli bis-Syaukah yang wajib kita taati.[4] Namun demikian, bukan berarti kita berdiam dan berpangku tangan untuk tidak berupaya menerapkan syariat Islam secara kafah. Hal tersebut harus terus kita usahakan semaksimal mungkin.[5]
[1] Ihya’ Ulumuddin Juz 1. hlm. 17. Maktabah Syamilah
[2] Tuhfah Al-Murid. hlm. 132-133. Cetakan al-Haramain 2014
[3] Butir isi Musyawarah Nasional Alim Ulama NU yang diadakan di Jakarta pada tanggal 1-2 November 2014
[4] Keputusan Bahtsul Masail Kubro Se-Jawa Madura Ke-VIII di PP Nurul Qur’an tentang Khilafah Islamiyah
[5] Keputusan Bahtsul Masail Kubro Se-Jawa Madura Ke-VIII di PP Nurul Qur’an tentang Khilafah Islamiyah