Membicarakan Ahlusunah wal Jamaah sangat erat kaitannya dengan hadis-hadis yang menerangkan tentang perpecahan umat menjadi tujuh puluh tiga golongan. Di antara hadis-hadis tersebut adalah teks hadis berikut ini yang artinya; Dari Muawiyah bin Abi Sufyan, bahwasanya Rasulullah bersabda; “Sesungguhnya orang sebelum kamu dari pengikut Ahli-kitab terpecah belah menjadi 72 golongan. Dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 dua golongan akan msuk ke neraka, dan satu golongan yang akan masuk surga, yaitu golongan al-Jamaah”. (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Hadis di atas, dan hadis-hadis lain yang serupa dapat mengantarkan kita pada beberapa kasimpulan. Pertama, bahwa umat Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Kedua, ketika umat Islam terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, maka hanya satu golongan yang akan selamat dan masuk surga. Sementara golongan yang lain tidak akan selamat dan akan masuk neraka. Dan ketiga, hadis di atas menjelaskan bahwa satu golongan yang selamat tersebut adalah golongan al-Jamaah. Menurut mayoritas ulama, yang dimaksud dengan satu golongan yang selamat dalam hadis-hadis yang menerangkan perpecahan umat tersebut adalah golongan Ahlusunah wal Jamaah.
Menurut mayoritas ulama sejak generasi salaf yang saleh, Ahlusunah wal Jamaah adalah kelompok yang mengikuti ajaran Islam yang murni dan asli, seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan sahabatnya. Ahlusunah wal Jamaah merupakan kelangsungan alamiah dan perjalanan sejarah Islam yang masih asli dan murni, yang pada gilirannya layak menjadi golongan yang selamat (al-Firqah al-Najiah).
Perlu diketahui, bahwa dalam perjalanan sejarah Islam, tidak semua aliran yang ada dalam Islam mengklaim dirinya atau diakui sebagai pengikut Ahlusunah wal Jamaah. Seperti kelompok Syiah, Khawarij, Muktazilah, Zaidiyah dan Ibadiyah-misalnya, tidak mau dikatakan sebagai pengikut Ahlusunah. Dalam perjalanan sejarah, hanya dua aliran yang mengklaim dirinya sebagai pengikut dan mewakili mazhab Ahlusunah wal Jamaah, yaitu aliran yang mengikuti mazhab al-Asyari dan al-Maturidi, dan aliran yang mengikuti paradigma pemikiran Ibnu Taimiyah al-Harrani. Kedua aliran inilah yang mengklaim dirinya masih mengikuti dan mewakili Ahlusunah wal Jamaah, sementara kelompok yang lain divonisnya termasuk kelompok ahli-bidah. Meski demikian, dalam sejarah konflik pemikiran dan ideologis yang terjadi antara aliran yang mengikuti mazhab al-Asyari dan al-Maturidi di satu pihak, dan aliran yang mengikuti paradigma Ibnu Taimiyah al-Harrani di pihak lain, selalu dimenangkan oleh aliran yang pertama, yaitu aliran yang mengikuti mazhab al-Asyari dan al-Maturidi[1]. Dari sini berkembang sebuah pertanyaan, adakah dalil-dalil dalam al-Quran dan sunah yang mengisaratkan bahwa mazhab yang pertama atau mazhab yang ke dua, yang layak mewakili aliran Ahlusunah wal Jamaah atau al-Firqah al-Najiah.
Bagian berikut ini akan mencoba menawarkan beberapa pendapat ulama yang dapat memantapkan bahwa mazhab al-Asyari dan al-Maturidi adalah kelompok yang lebih layak mewakili Ahlusunah wal Jamaah dari pada kelompok-kelompok yang lain.
Menurut mayoritas ulama, mazhab al-Asyari dan al-Maturidi adalah golongan yang memerankan Ahlusunah wal Jamaah. Dalam konteks ini al-Imam al-Hafizh al-Zabidi mengatakan; “Apabila Ahlusunah wal Jamaah disebutkan maka yang dimaksudkan adalah pengikut mazhab al-Asyari dan al-Maturidi[2].
Pernyataan al-Zabidi tersebut dan pernyataan serupa dari banyak ulama yang tidak disebutkan di sini, mengilustrasikan bahwa dalam pandangan umum para ulama, istilah Ahlusunah menjadi nama bagi mazhab Asyari dan Maturidi. Hal tersebut bukan berarti menafikan sebuah realita, tentang adanya kelompok lain, meskipun minoritas, yang juga mengkalaim termasuk golongan Ahlusunah, yaitu kelompok yng mengikuti paradigma pemikira Syaikh Ibn Taimiyah, yang dewasa ini terwujud dalam aliran Wahabi dan sejak abad ke sembilan belas yang lalu menamakan dirinya Salafi[3]
M. Ulin Nuha / AnnajahSidogiri.id
[1] Said Faudah, Ahl al-Sunah wal Jamaah, www.azahera.net.
[2] Al-Hafizh Muhammad Murtadha al-Zabidi, Ithaf al-Muttaqin, juz 2
[3] Muhammad Said Ramadhani al-Buthi, al-Salafiyyah Marhalah Zamaniyyah Mubarakah la Madzhab Islami, Damaskus; Dar al-Fikr, 1990, hlm. 229.