Belakangan ini banyak yang mengaku dirinya adalah bagian dari Ahlusunah wal Jamaah. Akan tetapi, mereka tidak mengerti esensi Ahlusunah itu sendiri. Ironisnya lagi, ada sebagian orang-orang Ahlusunah sendiri yang meragukan perihal kebenarannya. Mereka berasumsi bahwa Ahlusunnah tak jauh beda dengan firkah-firkah Islam yang lain. Spekulasi tersebut tak lain karena mereka mempunyai pemikiran bahwa setiap golongan pasti akan membela golongannya sendiri serta menafikan golongan yang lain, tak terkecuali Ahlusunah wa Jamaah. Hal ini disebabkan karena minimnya pengetahuan mereka terhadap Ahlusunah. Mereka hanya sekadar mengenal istilahnya, tanpa mengetahui hakikat Ahlusunah.
Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi memberikan penjelasan yang sangat lugas terkait Ahlusunah, “Esensi Ahlusunah wal Jamaah adalah esensi islam itu sendiri.” Dari pemaparan beliau, kita bisa mengetahui bahwa ajaran Ahlusunnah merupakan hakikat dari Islam itu sendiri, yakni ajaran Nabi Muhammad yang masih murni, tidak terkontaminasi oleh paham-paham yang melenceng.
Kemudian, jika memang benar Ahlusunah merupakan esensi dari Islam itu sendiri, mengapa istilah tersebut baru ada pada sekitar abad ke-3 hijriah? Kenapa sejak periode Nabi hingga periode awal-awal para sahabat istilah tersebut tidak ditemukan? Menyikapi hal ini kita perlu menelisik kembali historiografi Ahlusunah wal Jamaah.
Pada era kenabian hingga periode awal-awal sahabat, semua umat Islam memiliki ideologi yang sama, (ideologi inilah yang nantinya akan disebut dengan Ahlusunah wal Jamaah). Seiring dengan berjalannya waktu, ada segelintir orang yang menyimpang dari ajaran tersebut. mereka mengajak mencintai keluarga Nabi dengan cara yang salah, yakni golongan Syiah atau Rafidah. Namun, penyimpangan sekte ini tidak berpengaruh terhadap keyakinan mayoritas umat Islam (sawadul a’dham), karena sekte tersebut merupakan golongan kecil saja. Mudah diklarifikasi bahwa golongan tersebut merupakan sempalan dari mayoritas Islam (sawadul a’dham), sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad ﷺ;
إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَ
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Jika kalian melihat adanya perbedaan, maka berpegang teguhlah pada golongan yang besar (Sawadul a’zam)” {HR. Ibnu Majah : 3940}
Begitupun seterusnya. Sekte-sekte yang beseberangan dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi terus bertambah, tetapi hal tersebut tetap tidak berpengaruh secara signifikan kepada golongan mayoritas umat Islam. Alasannya, masih bisa dibedakan antara golongan yang benar dengan golongan yang salah, kendatipun ada sebagian kelompok yang ditopang oleh kekuasaan, seperti Muktazilah yang menemukan angin segar dalam penyebaran ideologinya pada era Dinasti Abbasiyah.
Namun, kian lama sekte-sekte sempalan dari islam kian bertambah dan mulai menjamur di kalangan masyarakat, sehingga membuat para ulama zaman itu mulai berhati-hati. Lantaran yang sebelumnya mudah diidentifikasi, kini mulai sulit untuk diklarifikasi. Sebab inilah Imam Asyari dan Imam Maturidi menyimpulkan poin-poin penting akidah murni yang dibawakan oleh Nabi Muhammad ﷺ sejak awal pertama kenabian hingga masa itu. Alasannya agar lebih terstruktur dan memudahkan untuk mengidentifikasi sekte-sekte yang menyimpang dari Islam. Golongan yang mengikuti rumusan dua imam tersebut disebut Ahlusunah wal Jamaah.
Nah, dari sini dapat kita simpulkan bahwa Ahlusunnah bukanlah sebuah firkah. Melainkan sebuah identitas yang dipilih oleh ulama sebagai pembeda antara orang-orang yang mengikuti agama Islam sebagaimana yang dibawakan oleh Nabi dengan sekte-sekte yang menyempal dari Islam. Ahlusunah merupakan ruh dari Islam itu sendiri, tidak kurang dan tidak lebih.
Muhit Rofiqiy | annajahsidogiri.id