Munculnya aliran Ahmadiyah di Indonesia tidak boleh dianggap remeh oleh umat Islam Indonesia. Sebab kalau dibiarkan, maka Islam di negara kita ini akan tercerai-berai karena meremehkan suatu kesesatan dalam masalah akidah. Hal itu akan menimbulkan kerusakan-kerusakan yang lain sebagaimana yang di dawuhkan oleh Syekh Musthafa al-Ghalayayni dalam ‘Izzhatun-Nâsyi’în:
السُّكُوْتُ عِنْدَ أَوَّلِ الفَسَادِ يَعْرُوْ مَا تَعْتَنْقِهُ مِنَ العَقَائِدِ، دَاعٍ لِسَرَيَانِ الفَسَادِ إِلَى سَائِرِهِ
“Mendiamkan awal kerusakan yang berkaitan dengan akidah, akan mengundang kerusakan-kerusakan yang lain”
Memang perjalanan sejarah Islam sejak awal mula sampai hari ini selalu dibayangi rekayasa-rekayasa dan persekongkolan pihak-pihak yang anti Islam dengan berbagai macam cara, logo, dan nama samarannya yang mengarah kepada setiap generasi umat ini supaya berhasil mempora-porandakan islam dan menghancurkan seluruh kaum muslimin.
Perlu kita ketahui, bahwa musuh-musuh Islam telah menyatakan “kita harus menghancurkan agama Islam, karena agama Islam merupakan sumber kekuatan umat pemeluknya, dengan merusak agamanya kita dapat mempengaruhi mereka.” munculnya aliran Ahmadiyah merupakan salah satu tanda dari hal tersebut.
Ahmadiyah memiliki begitu banyak keyakinan yang sangat jauh menyimpang dari ajaran Islam. Kenabian Ghulam Ahmad yang diposisikan persis seperti Nabi Muhammad, merupakan inti ajaran kaum ini, meski mereka juga meyakini akan kenabian para utusan dalam Islam. golongan Ahmadiyah meyakini bahwa Ghulam Ahmad adalah al-Masih yang dijanjikan kedatangannya dan dia lebih baik dari para nabi Ulul Azmi.
Berikut beberapa akidah-akidah Ahmadiyah:
- Ghulam Ahmad adalah al-Masih (juru selamat yang dijanjikan).[1]
- Allah berpuasa, salat, tidur, terjaga, menulis, bisa benar, dan juga bisa salah.
- Nubuwwah (kenabian) tidak diakhiri oleh Nabi Muhammad. Menurut mereka, Allah akan terus mengutus para utusan sesuai dengan kebutuhan sampai hari kiamat tiba, sedangkan Ghulam adalah nabi yang paling mulia di antara para nabi yang lain.
- Malaikat Jibril turun kepada Ghulam Ahmad untuk menyampaikan wahyu kepadanya, sedangkan, ilham-ilham yang ia terima hukumnya sama seperti al-Quran.
- Tidak ada al-Quran kecuali yang dibawa oleh Ghulam Ahmad dan tidak ada hadis kecuali yang dibawa pancaran ajaran-ajarannya.
- Kota Qadian[2] itu lebih mulya dari Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah, juga sebagai kiblat dan tempat pelaksanaan ibadah haji.
- Menghapus ajaran jihad fi sabilillah dan keharusan patuh kepada pemerintah Inggris, karena menurut keyakinan mereka pemerintah inggris adalah waliyul amri berdasarkan nash al-Quran
- Menurut aliran Ahmadiyah semua orang Islam diluar mereka adalah kafir. Sedangkan, seseorang yang mengawinkan anaknya atau menikah dengan selain penganut Ahmadiyah juga divonis kafir.[3]
Dari pemaran akidah Ahmadiyah di atas sudah cukup kiranya untuk memvonis Ahmadiyah adalah aliran yang sesat. Bahkan, bisa dikatakan sebagai agama baru, sebab pemimpin aliran ini mengklaim dirinya sebagai nabi dan ia juga mengaku mendapatkan wahyu dari Allah melalui perantara Malaikat Jibril, kemudian ia mewajibkan kepada para pengikutnya untuk percaya bahwa semua ucapan yang keluar darinya adalah wahyu dari Allah.
Perbedaan Ahmadiyah dengan umat Islam tidaklah sekedar masalah kenabian Mirza Ghulam Ahmad saja, tetapi Ahmadiyah menyebarkan penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok Agama Islam baik yang menyangkut masalah akidah maupun syariat. Orang-orang Ahmadiyah dengan terang dan jelas mengasingkan diri mereka dari dunia Islam meskipun mereka mengaku bahwa mereka bagian dari umat Islam itu dikarenakan mereka telah menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Al-Masih dan Al-Mahdi yang datang dengan membawa syariat Nabi Muhammad dan tidak menguranginya sedikitpun.
Golongan Ahmadiyah berpikir rasionalis-liberal dalam memahami Imam Mahdi dan Nabi Isa. Meskipun epistemologi pemahamannya mengambil dari al-Quran dan Hadis, tetapi yang dihasilkan berbeda dengan mayoritas umat Islam. Dalam pandangan Ahmadiyah, bahwa Nabi Isa putra Maryam telah wafat sebagaimana manusia secara alamiah. Kematian Nabi Isa AS dalam pemahaman Ahmadiyah tidak hanya dalam bentuk abstrak, tetapi dalam realitas sesungguhnya. Hal ini diungkapkan oleh Ghulam Ahmad bahwa Isa AS telah meninggal sebagaimana manusia pada umumnya dan dikubur di Srinagar, Kashmir. Adapun argumentasi yang digunakan ialah merujuk pada Q.S Al-Maidah:117; Q.S Ali-Imran:54 dan 143; serta Q.S ash-Shaff :6 dan 32. Sedangkan ayat yang menjelaskan bahwa Nabi Isa AS masih hidup yang terdapat dalam Q.S an-Nisa’ dipahami oleh Ahmadiyah dengan pendekatan bahasa dan argumentasi Bible, sebagaimana tafsir Ahmadiyah. Ayat tersebut hanya menjelaskan tentang penyerupaan, supaya orang Yahudi bingung dengan kematian Nabi Isa AS, karena lafal “shalabu” menunjukkan pembunuhan dengan cara memaku di tiang salib. Jadi, menurut mereka, Nabi Isa AS tidak mati di atas salib. Adapun lafaz “syubbiha” menunjukkan makna bahwa Nabi Isa hanya ditampakkan terhadap orang Yahudi seperti meninggal di atas salib.
Ahmadiyah di Indonesia
Ahmadiyah telah masuk ke Indonesia pada tahun 1925 di daerah Tapak Tuan Pantai Barat Aceh. Jamaah Ahmadiyah terbagi menjadi dua, yakni Ahmadiyah Qadian dan Lahore. Kedua kelompok Ahmadiyah ini mempunyai organisasi masing-masing di Indonesia. Kelompok Ahmadiyah Lahore menyebut dirinya “Gerakan Ahmadiyah Indonesia”, sedangkan Ahmadiyah Qadian bernama “Jamaah Ahmadiyah Indonesia.” Gerakan jamaah Ahmadiyah Indonesia berhasil mengembangkan dan membangun pusat kegiatannya di daerah Bogor. Namun, Gerakan Ahmadiyah Indonesia yang berpusat di Yogyakarta perkembangannya tidak begitu pesat karena keorganisasiannya tidak terlalu berjalan. Ahmadiyah Qadian, dulunya dipimpin oleh Mirza Basyirudin Mahmud. Golongan ini memiliki pendirian yang teguh dalam mempertahankan ideologi dan ajaran yang dibawa oleh Mirza Ghulam Ahmad (yakni akidah yang telah disebutkan di atas).
Sedangkan Ahmadiyah Lahore adalah kelompok separatis[4] dalam organisasi Ahmadiyah yang terbentuk pada tahun 1914 sebagai akibat dari perbedaan ideologis dan administratif setelah wafatnya Hakim Nuruddin, khalifah pertama setelah Mirza Ghulam Ahmad. Anggota gerakan Ahmadiyah Lahore disebut oleh kelompok mayoritas sebagai al-hayru al-mubin (kebingungan yang jelas)
Penganut gerakan Ahmadiyah Lahore meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mujaddid dan juga menegaskan statusnya sebagai Isa dan Mahdi, tetapi menyimpang dari posisi utama Ahmadiyah dalam memahami status kenabiannya sebagai sufistik atau mistik daripada yang bersifat teknis teologis. Selain itu, penganut gerakan Ahmadiyah Lahore tidak menyatakan kesetiaan kepada silsilah Kekhalifahan Ahmadiyah, sebagai gantinya digantikan oleh Anjuman (Dewan), serta dipimpin oleh seorang Amīr (Presiden). Yang kemudian mengangkat Muhammad Ali Lahoriy sebagai Amīr dalam golongan ini.
Perlu diketahui, pimpinan Ahmadiyah Lahore sebenarnya menyadari bahaya yang akan menimpa umat Islam akibat ajaran Ahmadiyah ini. oleh sebab itu, ia menentang dan menolak akidah yang dicetuskan oleh Mirza Ghulam Ahmad tentang “kenabian tetap berlangsung”, tapi disatu sisi, ia ingin menjadi pengikut setia dari Mirza Ghulam Ahmad dan juga ia ingin meredam opini ulama yang secara keras menentang pada ajaran Mirza Ghulam Ahmad. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh Ahmadiyah Lahore berusaha menjelaskan bahwa Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku dirinya sebagai nabi, itu hanyalah kiasan belaka. Akan tetapi, bagi orang- orang yang membaca dan menelaah tulisan-tulisan Mirza Ghulam Ahmad secara kesuluruhan pasti mengerti bahwa Mirza itu sejatinya mendeklarasikandirinya sebagai seorang nabi.[5]
Dari pemaparan di atas, sangat jelas bahwa kelompok Ahmadiyah merupakan aliran sesat, bahkan bisa dikatakan sebagai agama baru dengan meninjau ajaran-ajarannya yang sangat kontadiksi dengan ajaran Islam.
M. Aghits amta maula | Annajahsidogiri.id
[1] Tuhfatu-Nadwa hal:148
[2] sebuah kota kecil yang terletak di distrik Gurdaspur, sebelah timur laut Amritsar, yaitu 18 kilometer (11 mil) di arah timur laut kota Batala di negara bagian Punjab, India.
[3] Tiryaqul-Qulub hal:332-333
[4] orang (golongan) yang menghendaki pemisahan diri dari suatu persatuan
[5] Syekh Mamdur Ahmad, Al-Qadiani wa mu`taqadatuhu, hal:40-45