Dalam perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad atau yang dikenal dengan maulid Nabi, kaum muslim lumrah berdiri di tempat yang familiar dengan sebutan mahallul-qiyâm. sikap ini dilakukan tidak lain untuk menunjukkan ekspresi kebahagiaan dan merupakan bentuk penghormatan atas lahirnya sang pembawa cahaya Islam, Nabi Muhammadﷺ .
Hanya saja, dalam sebuah artikel berjudul, “Tanbîh Kiram al-Muhtid Ila Bidʻiyat al-Maulid” (hal.5) yang ditulis oleh Muhammad Bara’ Yasin yang disinyalir berpaham Wahabi, ia berusaha membungkam penganut akidah Ahlusunah perihal berdiri saat pembacaan maulid Nabi dengan pendapat Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, seorang ulama Syafi’i yang −menurut dia− menyatakan Mahallul-Qiyâm sebagai perbuatan bidah. Lantas, benarkah pernyataan tersebut?
Al-Imam Ibnu Hajar dalam al-Fatâwâ al-Hadîtsiyyah berkata:
وَنَظِيرُ ذَلِكَ فِعْلٌ كَثِيرٍ عِنْدَ ذِكْرِ مَوْلِدِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوَضْعِ أُمِّهِ لَهُ مِنَ الْقِيَامِ وَهُوَ أَيْضًا بِدْعَةٌ لَمْ يَرِدْ فِيهِ شَيْءٌ عَلَى أَنَّ النَّاسَ إِنَّمَا يَفْعَلُونَ ذَلِكَ تَعْظِيمًا لَهُ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَالْعَوَامُّ مَعْذُورُونَ لِذَلِكَ بِخِلَافِ الْخَوَاصِّ
“Semisal dengan itu (Nabi dan para sahabat berdiri serta mengangkat kepala ketika ayat turun) adalah perilaku banyak orang saat ini; berdiri saat membaca Maulid Nabi dan saat ibu nabi melahirkanya, itu juga bid’ah. Tidak ada riwayat tentang itu. Hanya saja hal itu dilakukan untuk memuliakan Nabi ﷺ. Adapun Orang awam dimaafkan melakukan hal itu, sedangkan orang-orang khusus berbeda dengan mereka”. [1]
Perkataan Al-Imam Ibnu Hajar tersebut adalah jawaban beliau tentang berdiri saat membacakan suatu ayat yang menceritakan dekatnya ancaman. Nabi dan para sahabat berdiri serta mengangkat kepala ketika ayat turun karena kaget dan takut tibanya azab saat itu.
Lalu Al-Imam Ibnu Hajar melanjutkan, bahwa Nabi melakukan hal itu karena suatu sebab dan sebab itu sudah tiada. Oleh karenanya, tidak dianjurkan berdiri ketika membaca ayat yang bersangkutan. Pada bagian akhir, beliau juga meyindir perbuatan orang-orang ketika membaca maulid Nabi; dengan berdiri di sebagian saat. Lantas, benarkah Al-Imam Ibnu Hajar yang menyatakan berdiri ketika mahallul-qiyam bidah bermaksud hukum haram? Kami akan jelaskan maksud perkataan beliau sebagai berikut:
Pertama-tama harus kita pahami bahwa berdiri (qiyam) dalam pembahasan ini ada dua macam. Pertama, qiyam bidah yaitu berdiri dalam beribadah yang tidak ada petunjuk dari Nabi ﷺ. Kedua, qiyam sunah yaitu berdiri dalam pekerjaan yang berbau ibadah yang terdapat anjuran dari Nabi Muhammad ﷺ, seperti berdiri karena memuliakan datangnya orang yang memiliki keutamaan.
Nah, Jika kita kaitkan pada qiyam dalam pembacaan maulid, Al-Imam Ibnu Hajar memang mengkategorikan sebagai bidah yang tak berdasar. Tapi, beliau tidak mengatakan bahwa qiyam karena takzim (mengaggungkan) adalah bidah, sebab banyak dalil tentang hal ini. Lebih jelasnya, Al-Imam Ibnu Hajar secara tersirat melegalkan qiyam ketika maulid sebagai bentuk takzim kepada Nabi Muhammad ﷺ yang disamakan dengan berdiri untuk memuliyakan ulama. [2]
Walhasil, Al-Imam Ibnu Hajar sebenarnya tidak membid’ahkan qiyam dalam pembacaan maulid jika alasanaya adalah takẓim, beliau Hanya mengkritik orang orang berbuat qiyam dan tidak tahu bahwa itu adalah untuk takẓim. Dengan demikian, berarti pendapat Al-Imam Ibnu Hajar senada dengan para ulama yang secara global menganjurkan qiyam.ج
جرَتْ الْعَادَةُ أَنَّ النَّاسَ إِذَا سَمِعُوا ذِكْرَ وَضْعِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُونَ تَعْظِيمًا لَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَذَا الْقِيَامُ مُسْتَحْسَنٌ لِمَا فِيهِ مِنْ تَعْظِيمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَقَدْ فَعَلَ ذَلِكَ كَثِيرٌ مِنْ عُلَمَاءِ الَّامَّةِ الَّذِينَ يُقْتَدَى بِهِمْ
“Kebiasaan orang-orang ketika mendengar pembacaan kelahiran Nabi ﷺ mereka berdiri untuk mengagungkannya ﷺ. qiyam ini dianggap baik karena mengagungkan Nabi Muhammad ﷺ, dan banyak ulama yang menjadi panutan telah melakukan hal tersebut.[3] “
Di samping itu, huruf jer “على” dalam perkataan Al-Imam Ibnu Hajar di atas berfaidah istidrak, yaitu kata yang menyusul perkataan sebelumnya agar tidak menimbulkan persepsi salah, atau simpelnya bermakna “hanya saja”.Jadi, arti dari perkataan Al-Imam Ibnu Hajar di atas adalah:
“Hal itu (qiyam) juga adalah bidah dan tidak ada riwayat tentangnya, hanya saja banyak orang melakukanya karena motivasi berupa mengaggungkan Rasullallah ﷺ (maka bukan termasuk bidah )“.[4]
Sedangkan, perkataan beliau yang berupa:
فَالْعَوَامُّ مَعْذُورُونَ لِذَلِكَ بِخِلَافِ الْخَوَاصِّ
Tidak bisa diartikan, ‘Karena berdiri adalah bidah, maka hukumnya dipilah, jika yang melakukan adalah orang awam maka boleh. Sedangkan orang khas (orang berilmu) tidak diperbolehkan’. Pemahaman yang benar adalah, orang awam dianggap uzur dikarenakan tidak mampu membedakan mana qiyam sebab takzim dan bukan sebab takzim. Sedangkan orang khusus tidak mendapatkan uzur itu.[5]
Kalupun kita tetap mengartikan pendapat Ibnu Hajar tentang Mahallul-Qiyâm sebagai perbuatan bidah, maka tidak bisa dipahami sebagai bid’ah dalalah, melainkan pekerjaan tersebut merupakan bid’ah hasanah, sebab banyak para ulama yang melakukannya dan tidak ada satupun yang mengingkarinya.Wallâhu a’lam bish-shawâb.
Ahmad Kholil | Annajahsidogiri.id
[1] Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, Al-Fatawa Al-Hadiṡiyah, hlm. 58.
[2] ꜥAbd al-Qadir al-Iskandary, Majalah al-Haqaiq, hlm.21.
[3]Syekh Ali bin Abdullah bin Mahmud bin Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, Iꜥanah at-Ṭhalibin, juz.3, hlm.414
[4] وَهُوَ أَيْضا بِدعَة لم يرد فِيهِ شَيْء على أَن النَّاس إِنَّمَا يَفْعَلُونَ ذَلِك تَعْظِيمًا لَهُ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم
[5] ꜥAbd al-Qadir al-Iskandary, Majalah al-Haqaiq, hlm.20.
Comments 0