Al-Jamaah, kata ini menyandang arti orang-orang yang menjaga kebersamaan dan kolektivitas dalam menggapai suatu tujuan. Al-Jamaah merupakan lawan kata firkah yaitu orang-orang yang bercerai dan memisahkan diri dari golongannya. Untuk memahami al-Jamaah tak semudah membalik telapak tangan. Menurut asy-Syatibi tercapainya pemahaman ini tak cukup cuma melihat satu hadis yang di dalamnya tertera lafal al-Jamaah. Tapi juga harus mengakomodirkan banyak hadis yang menyinggungnya.
Baca Juga: Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari; Perumus Formula Akidah Aswaja
Menurut asy-Syatibi, ulama berbeda pendapat mengenai arti al-Jamaah. Perbedaan ini dapat dikategorikan menjadi lima. Pertama, al-Jamaah adalah as-sawadul a’zham yaitu golongan moyoritas Islam yang setia pada pemimpinnya. Pendapat ini dikemukakan oleh abi Ghalib “as-sawadul a’zham adalah golongan Dalam kajian Ilmu Tauhid, takdir adalah istilah yang merujuk pada qadla’ atau keputusan Allah yang telah tertulis di lauh mahfudz sejak sebelum dunia tercipta (azali). Allah menyinggung hal ini dalam banyak ayat, misalnya:
Dalam kajian Ilmu Tauhid, takdir adalah istilah yang merujuk pada qadla’ atau keputusan Allah yang telah tertulis di lauh mahfudz sejak sebelum dunia tercipta (azali). Allah menyinggung hal ini dalam banyak ayat, misalnya:
yang selamat dari perpecahan. Barang siapa yang menentang mereka baik dalam syariat maupun kepemimpinan, maka dia menentang kebenaran dan mati dalam keadaan Jahiliah.” Kedua, al-Jamaah adalah Ulama Mujtahid. Sebab Jamaah Allah adalah para ulama. Barang siapa yang keluar dari ketentuannya, maka mati dalam keadaan Jahiliah. Hal ini sebab ulama sebagai hujah seluruh alam. Mereka inilah yang dimaksud oleh hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abbas bin Ustman dengan bunyi hadis:
اِنَّ اُمَّتِي لَنْ تَجْتَمِع عَلَى ضَلاَلَةٍ فَاِذَا رَئَيْتُم اِخْتِلَافًا فَعَلَيْكُم بِالسَوَادِ الْاَعْظَمِ
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Bila kalian melihat sebuah perselisihan maka ikutilah kelompok terbesar.”
Dalam lafal ummati menurut Abdullah bin Mubarak, Ishak bin Rawaih dan beberapa Ulama Salaf ditafsiri dengan ”ulama-ulama umatku” atas dasar ini menurut asy-Syatibi tak ada ruang untuk bertanya pada selain Mujtahid.
Baca Juga: Kontroversi Sejarah Fase Kehidupan Imam al-Asy’ari
Ketiga, al-Jamaah adalah para Sahabat Nabi. Menurut asy-Syatibi pendapat ini searah dengan redaksi hadis “ma ana ‘alaihi wa ashhabi” (Jamaah adalah yang dipegang olehku dan para Sahabatku.) Oleh sebab ini perkataan, perbuatan dan ijtihad para Shahabat adalah hujah secara mutlak. Keempat, al-Jamaah adalah golongan umat Islam yang bersepakat dalam syariat (ahli Ijmak).
Mereka adalah orang yang dijamin oleh Allah kebenarannya. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis “Allah tidak sekali-kali akan mengumpulkan umatku dalam kesesatan.” Menurut asy-Syatibi pendapat keempat sama dengan pendapat kedua Cuma, pendapat keempat lebih jelas dari pada kedua yang menyatakan Mujtahid. Kelima, al-Jamaah adalah golongan umat Islam yang bersepakat atas seorang pemimpin. Pendapat ini disaring dari Imam ath-Thabari. Sebab Rasulullah melarang umatnya membangkang kepada pemimpin yang telah disepakati.
Ujung temunya, Imam asy-Syatibi meringkas al-Jamaah adalah kesepakatan atas imam yang berpegang teguh pada al-Quran dan sunah. Dengan demikian bersepakat tanpa berlandasan al-Quran dan sunah telah keluar dari al-Jamaah.
Aris Daniyal | Annajahsidogiri.id