Sebagaimana yang termaktub dalam surah Ali Imran ayat 07, bahwa ayat-ayat dalam al-Qur’an terbagi menjadi dua; muhkamat dan mutasyabihat. Perbedaan antara keduanya sangat penting untuk dikenali dan dimengerti, utamanya ayat mutasyabihat, agar kita tidak salah dalam memahami sehingga dapat terjerat dalam jurang pemikiran sesat.
Syekh Hasan Ayyub dalam angnggitannya yang bertajuk al-Hadis; Fi Ulumil-Qur’an wal-Hadis, (hlm. 75) menampilkan, bahwa yang dimaksud ayat muhkamat adalah ayat yang maknanya jelas, terang benderang. Sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat yang pengertiannya samar, dan maknaya remang.
Pembahasan seputar ayat mutasyabihat penting untuk dikaji, agar kita tidak terjebak dalam paham tasybih seperti yang diyakini oleh Wahabi. Mereka melirik ayat mutasyabihat hanya menggunakan mata telanjang, dengan proses yang begitu singkat dan cepat, sehingga menimbulkan pemahaman, bahwa terdapat keserupaan antara makhluk dan Tuhan.
Di antara ayat yang sering menjadi sasaran tembak Wahabi adalah ayat;
اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى
“(yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ‘Arsy.”(QS. Thaha [20]: 05)
يَدُ اللّٰهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ
“Tangan Allah di atas tangan mereka.” (QS. Al-Fath [48]: 10)
Sesuai dengan karakter dan corak pemikiran Wahabi yang literalis dan anti takwil, mereka memahami dua ayat di atas sebagaimana arti zahirnya. Yakni, “Allah bertempat dan menetap di atas Arsy, dan Allah memiliki tangan.” Hanya saja kesesatan dan kesalahan itu agak dikaburkan, dengan cara mengalihrupakan diksi tadi menjadi, “Allah memang menetap di atas Arsy, hanya saja cara dan gambarannya seperti apa, tidak bisa kita bayangkan.” Atau, “Allah memiliki tangan hanya saja tangan Allah tidak sama dengan kita.”
Dengan mengalihrupakan bahasa seperti barusan, seolah-olah mereka telah lolos dari jeratan tasybih ala musyabbihah. Karena sekalipun mereka mengartikan lafaz yad dengan tangan, atau istiwa’dengan bersemayam, mereka tetap tidak menyamakan tangan dan bersemayam Allah dengan makhluk, serta memasrahkan gambarannya kepada Allah. Lucunya lagi, dengan pemahaman tersebut mereka malah mengaku mengikuti metode tafwid sebagaimana yang banyak dianut ulama salaf.
Lantas bagaimana kita menjawab pemahaman Wahabi seperti di atas? Ikuti ulasan berikut.
Pertama
Mengartikan kata istawa dengan bersemayam, menetap duduk, dls., adalah pemahaman yang keliru dan bisa berakibat fatal. Karena meskipun mereka tidak menyamakan bersemayamnya Allah dengan makhluk, tetap akan berdampak menetapkan jism kepada Allah. Kalau tidak percaya, mari kita melihat saksama uraian Hujjatul-Islam Imam al-Ghazali, ketika menjelaskan ayat ke 05 dalam surah Thaha, dalam karyanya, Iljamul-Awam (hlm. 136);
[ اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى] وَيُعْلَمُ قَطْعًا أَنَّهُ مَا أَرَادَ الْجُلُوْسَ وَالْاِسْتِقْرَارَ الَّذِيْ هُوَ صِفَةٌ الْاَجْسَامِ.
“Dapat diketahui secara pasti, bahwa istawa dalam ayat tersebut tidak menunjukkan arti duduk dan menetap yang keduanya merupakan sifat jism (organ tubuh) “
Mengenai arti surah al-Fath ayat 10, Imam Fakhrud-Din ar-Razi dalam karyanya, Ta’sisut-Taqdis (hlm. 167) menuturkan begini;
[يَدُ اللّٰهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ] فَالْمَعْنَى أَنَّ قُدْرَتَهُ تَعَالَى غَالِبَةٌ عَلَى قُدْرَتِهِمْ.
“Maksud yad dalam ayat tersebut adalah, kekuasaan Allah berada di atas kekuasaan mereka.”
Kedua
Klaim Wahabi bahwa mereka mengikuti metode tafwid seperti ulama salaf, karena mereka tidak menyamakan bersemayamya Allah dengan bersemayamnya makhluk, tapi tetap memaknai istawa dalam ayat tersebut dengan arti bersemayam, tentu tidak bisa dibenarkan. Hal tersebut terjadi, karena mereka tidak mengerti dengan konsep tafwid yang benar ala ulama salaf. Mari kita simak lagi penjelasan Imam Fakhrud-Din ar-Razi dalam kitabnya Ta’sisut-Taqdis (hlm. 229)
حَاصِلُ هَذَا الْمَذْهَبِ اَنَّ هَذِهِ الْمُتَشَابِهَاتِ يَجِبُ الْقَطْعُ فِيْهَا بِاَنَّ مُرَادَ اللهِ تَعَالَى مِنْهَا, غَير ظَوَاهِرِهَا ثُمَّ يَجِبُ تَفوِيْضَ مَعْنَاهَا إِلَى اللهِ تَعَالَى.
“Konsep (tafwid) mazhab salaf memberikan pengertian, bahwa wajib dipastikan kalau kehendak Allah kepada ayat-ayat mutsyabihat, bukanlah arti literalnya, serta wajib memasrahkan maknanya kepada Allah.”
Dari penjelasan beliau barusan, dapat kita tangkap bahwa tafwid yang dianut ulama salaf bukan hanya memasrahkan gambarannya (kaif,) melainkan beserta maknanya. Hal ini sangat bertentangan dengan tafwid yang dikoarkan Wahabi, karena mereka dengan jelas mengartikan yad dengan tangan.
Selain Imam Fakhrud-Din ar-Razi, Syekh Ibrahim al-Laqani juga merangkai sebuah nazam yang menjelaskan bahwa semua metode ulama dalam memahami ayat mutasyabihat, baik takwil atau pun tafwid mengerucut pada satu tujuan, yaitu tanzih.
وَكُلٌّ نَصٍّ أَوْهَمَ التَّشْبِيْهًا | أَوِّلْهُ أَوْ فَوِّضْ وَرُمْ تَنْزِيْهًا
“Setiap nash yang mengesankan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), maka (pilihannya dua;) men-ta’wil atau men-tafwidh dan tetap sucikanlah zat Allah.”
Dari nazam di atas sudah jelas bahwa metode apa pun dari ulama, itu mengerucut pada satu tujuan. Yakni mensucikan Allah dari sifat yang tidak pantas. Seperti duduk, bersemayam, memiliki kaki, wajah, tangan, dls. Hal ini juga selaras dengan apa yang disampaikan oleh Syekh Muhammad Zahid al-Kausari.
Selanjutnya, meskipun Wahabi telah mengatakan bahwa tangan Allah tidak sama dengan kita, tidak semerta-merta membebaskan mereka dari jeratan tasybih. Karena ketika kata tangan diucapkan, maka yang terbayang dalam fikiran (tashawur) kita, adalah anggota badan dari bahu hingga jemari. Hal itu tidak dapat dihindari dan dipungkiri. Oleh karena itu para ulama dengan “terpaksa” men-takwil lafaz yad menjadi kekuasaan (qudrah), agar bisa menghindari pemahaman seperti yang diyakini Wahabi.
Sebagai penutup, coba kita renungi pernyataan tegas Syekh Musthafa bin Abdur-Rahman al-Attas dalam kitabnya ‘Aqidatul-Imam al-Asy’ari (hlm. 47) bahwa, memahami ayat dan hadis mutasyabihat dengan konsep tasybih, dan mengatakan Allah bertempat, sebagaimana yang diyakini oleh Hasyawiyyin dan kelompok salafi Wahabi, adalah nalar yang bersumber dari kebodohan dan kedunguan yang dipoles dengan tipu daya dan kebohongan. Wallahu a’lam.
Ilwa Nafis Sadad | Annajahsidogiri.id