Kristiani
Allah memakai kata kami dalam al-Quran. Hal ini menunjukkan, Dia terdiri dari satu kesatuan. Sama seperti paham kami sebagai umat Kristen atau Katolik yang berpaham Tritunggal, yaitu Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Muslim
Jika Anda mau belajar tentang sastra dalam bahasa, niscaya permasalahan ini akan lekas selesai. Tapi, berhubung Anda hanya mempelajari terjemahan, maka akan kita jelaskan maksud dari kata kami yang Allah sampaikan dalam al-Quran. Contoh seperti surah al-Hijr ayat ke 9:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ. (الحجر: 9)
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Quran dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya. (QS. Al-Hijr: 9)
Mengenai ayat ini, Imam ar-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, berkomentar:
فَأَمَّا قَوْلُهُ: (إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ) فَهَذِهِ الصِّيْغَةِ -وَإِنْ كَانَتْ لِلْجَمْعِ- إِلَّا أَنَّ هَذَا مِنْ كَلَامِ الْمُلُوكِ عِنْدَ إِظْهَارِ التَّعْظِيْمِ؛ فَإِنَّ الْوَاحِدَ مِنْهُمْ إِذَا فَعَلَ فِعْلًا، أَوْ قَاْلَ قَوْلًا قَالَ: إِنَّا فَعَلْنَا كَذَا، وَقُلْنَا كَذَا، فَكَذَا هَا هُنَا. اهـ.
Adapun firman Allah c إنا نحن نزلنا الذكر , maka sigah (bentuk) ini, meskipun menunjukkan makna jamak (plural), tapi sebenernya ini adalah bentuk ucapan para raja yang sengaja menunjukkan kemuliaan dan keagungan dirinya, karena salah satu dari mereka ketika melakukan suatu hal atau mengucapkan suatu kata maka seorang raja tersebut mengungkapkan dengan kata: “Sesungguhnya kami telah melakukan demikian, kami telah berkata demikian”. Maka begitu pulalah maksud dari ayat di sini.[1]
Syekh Muhammad al-Amin asy-Syingqithi, dalam karya-nya, al-Adzbu al-Munir, menerangkan:
وَصِيْغَةُ الْجَمْعِ فِي (نَحْشُرُهُمْ) وَفِي (نَحْنُ) لِلتَّعْظِيْمِ، كَقَوْلِهِ: (إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ) [الحجر: ٩] (إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى) [يس: ١٢] وَهُوَ جَلَّ وَعَلَا وَاحِدٌ إِلَّا أَنَّهُ يُعَبِّرُ عَنْ نَفْسِهِ بِصِيْغَةِ الْجَمْعِ لِأَجْلِ التَّعْظِيْمِ وَالْإِجْلَالِ.
Bentuk jamak (plural) pada lafaz نحشرهم dan نحن itu menunjukkan makna mengagungkan, seperti dalam QS. al-Hijr: 9 dan QS. Yasin: 12. Allah adalah Dzat yang Esa, namun ketika Allah menyebut diri-Nya sendiri dengan kata jamak (plural), itu karena adanya unsur menga-gungkan dan memuliakan diri-Nya.[2]
Penjelasan di atas juga dikuatkan oleh pendapat al-Imam al-Wahidi dalam tafsirnya, al-Bashith, sebagai berikut:
قَوْلُهُ تَعَالَى: (إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: يُرِيْدُ نَفْسَهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى. قَالَ أَهْلُ اللُّغَةِ: هَذَا مِنْ كَلَامِ الْمُلُوكِ؛ الوَاحِدُ مِنْهُمْ إِذَا فَعَلَ شَيْئًا قَالَ: نَحْنُ فَعَلْنَا، يُرِيْدُ نَفْسَهُ وَأَتْبَاعَهُ، ثُمَّ صَارَ هَذَا عَادَةً لِلْمُلُوكِ فِي الْخِطَابِ، وَإِنْ انْفَرَدَ بِفِعْلِ الشَّيْءِ قَالَ: نَحْنُ فَعَلْنَا.
Firman Allah “إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا”, Ibnu Abbas berkata : Allah menghendaki dirinya sendiri. Menurut pakar bahasa: ini termasuk ungkapan para raja. Jika salah satu dari mereka melakukan sesuatu, maka mereka berkata, “Kami telah mengerjakanya” Maksud perkataaan tersebut adalah dirinya sendiri dan para pengikutnya. Kemudian ungkapan ini menjadi budaya para raja ketika menyampaikan kepada rakyatnya. Ketika perbuatan itu dilakukan oleh dirinya sendiri, maka dia mengatakan, “kami telah mengerjakanya.”[3]
Baca juga; Membantah Konsep Trinitas #2
Komparasi
Dalam konteks ilmu bahasa, kata yang secara lafaz berbentuk jamak, tidak berarti maknanya juga jamak. Dan inilah fakta yang terjadi, baik dalam ilmu bahasa Arab maupun bahasa Inggris dan lain sebagainya.
Hal ini juga diaminkan oleh kitab umat Kristen atau Katolik sendiri, terutama dalam Perjanian Lama yang bahasa aslinya menggunakan bahasa Ibrani. Seperti kata Elohim (אֱלֹהִים), adalah bentuk plural dari El (אל) atau Eloah (אלוה).
Kata kerja בָּרָא (bara) berarti “menciptakan” dan digunakan secara eksklusif untuk tindakan penciptaan oleh Tuhan dalam Perjanjian Lama. Dalam Kejadian 1:1, tertulis:
בְּרֵאשִׁית בָּרָא אֱלֹהִים אֵת הַשָּׁמַיִם וְאֵת הָאָרֶץ
Bereshit bara Elohim et hashamayim ve’et ha’aretz
“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.”
Di sini, kata “bara” (בָּרָא) adalah bentuk lampau orang ketiga tunggal maskulin, menunjukkan bahwa subjeknya adalah tunggal, yaitu Allah. Meskipun kata “אֱלֹהִים (elohim)” berbentuk jamak, kata kerja yang menyertainya tetap dalam bentuk tunggal, menegaskan bahwa tindakan penciptaan dilakukan oleh satu entitas.[4]
Untuk bentuk jamak dari kata kerja ini, misalnya untuk subjek jamak maskulin dalam bentuk lampau, digunakan bentuk seperti “bar’u” (בָּרְאוּ), yang berarti “mereka menciptakan”. Namun, bentuk ini tidak digunakan dalam konteks penciptaan oleh Tuhan dalam Tanakh (Perjanjian Lama dalam teks Ibrani).
Musa Disebut sebagai “Elohim” dalam Keluaran 7:1:
Keluaran 7:1 (TB), Tuhan berfirman kepada Musa:
וַיֹּאמֶר יְהוָה אֶל־מֹשֶׁה רְאֵה נְתַתִּיךָ אֱלֹהִים לְפַרְעֹה וְאַהֲרֹן אָחִיךָ יִהְיֶה נְבִיאֶךָ
Vayomer YHWH el-Mosheh, re’eh netaticha Elohim le-Far’oh, ve-Aharon achikha yihyeh nevi’ekha.
“Dan TUHAN berfirman kepada Musa: ‘Lihatlah, Aku telah menjadikan engkau sebagai Allah bagi Firaun, dan Harun, saudaramu, akan menjadi nabimu’.”
“אֱלֹהִים (elohim)” = bentuk jamak, tapi menunjuk ke satu Musa.
Kata “Elohim” digunakan untuk Musa, menunjukkan bahwa Musa akan bertindak sebagai wakil Tuhan di hadapan Firaun. Meskipun “Elohim” berbentuk jamak, pengguna-annya dalam konteks ini tetap merujuk pada satu individu, yaitu Musa. Ini menunjukkan bahwa bentuk jamak dalam bahasa Ibrani tidak selalu menunjukkan pluralitas secara harfiah, tetapi bisa juga digunakan untuk mengekspresikan keagungan, kehormatan, atau aspek lain yang lebih kompleks.
Kemudian, adakah dalam bahasa Yunani bentuk jamak yang bukan berarti jumlah banyak (plural keagungan)? Jawabannya: ya, ada.
Walau bahasa Yunani tidak memiliki pluralis majestatis sekuat bahasa Ibrani atau Arab, namun dalam konteks teologi, beberapa istilah Yunani yang tampak jamak, tidak berarti diterjemahkan sebagai “banyak” secara harfiah. Namun, lebih menunjukkan intensitas, kedalaman, atau fungsi yang melampaui. Berikut contohnya:
- Kejadian 1:26
Teks Septuaginta:
Εἶπεν δὲ ὁ Θεὸς, Ποιήσωμεν ἄνθρωπον κατ’ εἰκόνα ἡμῶν, καὶ καθ’ ὁμοίωσιν ἡμῶν
“Eipen de ho Theos, Poiēsomen anthrōpon kat’ eikona hymōn, kai kath’ homoiōsin hymōn.”
Terjemahan Bahasa Indonesia:
“Berfirmanlah Allah: ‘Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita’.”
Meskipun bentuk yang digunakan adalah plural (seperti ἡμῶν / hēmōn yang berarti “kami”), secara gramatikal, ini tetap berfungsi sebagai bentuk singular (tunggal) karena kata yang merujuk pada Tuhan itu sendiri (seperti Θεὸς / Theos yang berarti “Tuhan”) adalah singular.
Dalam bahasa Yunani, kata Theos (Tuhan) adalah kata benda tunggal yang diperlakukan sebagai singular meskipun kata ganti yang digunakan untuk merujuk padanya adalah bentuk plural (jamak).
Baca juga; Keterlibatan Inggris Dalam Kampanye Wahabisme
Di sini, kata ἡμῶν (hēmōn) adalah bentuk plural dari kata ganti ἐγώ (ego), yang berarti “kami”. Meskipun ini jamak, Θεὸς (Theos) tetap merujuk pada Tuhan yang tunggal atau singular. Ini menunjukkan bahwa hēmōn digunakan dalam konteks plural of majesty (jamak keagungan), yang tidak mengubah fakta bahwa Tuhan adalah satu.
Pentingnya grammar atau aturan tata bahasa dalam membaca teks ini adalah, jika benar-benar mengartikan kata “kami” secara literal, maka kita mengharuskan perubahan dalam grammar yang lebih mendalam, di mana kita harus melihat pengaruh kata benda yang bersangkutan. Misalnya, jika kata Theos (Tuhan) adalah jamak, bentuknya akan menjadi Θεοί (Theoi), yang berarti “gods” atau “dewa-dewa”, sangat berbeda dengan penggunaan tunggal yang ada dalam teks-teks ini.
Dalam hal ini, plural digunakan secara retoris untuk menunjukkan kebesaran Tuhan, bukan untuk menyiratkan bahwa ada lebih dari satu Tuhan.
- Kejadian 11:7
Teks Septuaginta (LXX) untuk Kejadian 11:7 adalah sebagai berikut:
Ἀναστὰν ἄνω, καὶ καταβῆτε ἐκεῖ, καὶ ἐμπόδισον τὸ ἔργον αὐτῶν, ἵνα μὴ συντελῶσιν.
Anastan ano, kai katabēte ekei, kai empodison to ergon autōn, hina mē syntelōsin.
Terjemahan Bahasa Indonesia:
“Mari kita turun dan mengacaukan bahasa mereka, supaya mereka tidak mengerti satu sama lain.”
Dalam kalimat ini, Tuhan berbicara tentang menghalangi pekerjaan mereka, dan bentuk jamak “αὐτῶν” digunakan untuk merujuk kepada orang-orang yang terlibat, bukan kepada Tuhan yang berbicara dalam plural of majesty.
- Kejadian 3:22
Teks Septuaginta (LXX) untuk Kejadian 3:22 adalah:
Καὶ εἶπεν ὁ Θεὸς· Ἰδού, ὁ ἄνθρωπος ἐγενήθη ὡς εἷς ἀπὸ ἡμῶν, γνῶναι καλὸν καὶ πονηρόν.
Kai eipen ho Theos: Idou, ho anthrōpos egenēthē hōs heis apo hēmōn, gnōnai kalon kai ponēron.
Terjemahan Bahasa Indonesia:
“Dan Allah berfirman, ‘Lihatlah, manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari kami, mengetahui yang baik dan yang jahat’.”
Dalam hal ini, kata ἡμῶν (hēmōn) kembali menunjukkan bentuk plural, meskipun Θεὸς (Theos) tetap merujuk pada Tuhan yang satu. Penggunaan plural ini adalah bentuk penghormatan dan pengagungan terhadap Tuhan.
- Yesaya 6:8
Teks Septuaginta (LXX) untuk Yesaya 6:8 adalah:
Καὶ ἤκουσα φωνὴν Κυρίου λέγοντος· Τίνα ἀποστελέσω καὶ τίς πορεύσεται ἡμῖν;
Kai ēkousa phōnēn Kyriou legontos: Tina apostelēsō kai tis poreusetai hēmin?
Terjemahan Bahasa Indonesia:
“Dan aku mendengar suara Tuhan yang berkata, ‘Siapakah yang akan Kuutus, dan siapa yang akan pergi untuk kami?’”
Seperti dalam ayat sebelumnya, ἡμῖν (hēmin) adalah bentuk plural dari kata ganti ἐγώ (ego), yang berarti “kami”. Namun, meskipun menggunakan bentuk plural, Κυρίου (Kyriou, Tuhan) tetap merujuk pada entitas yang tunggal, yang menunjukkan penggunaan plural of majesty.[5][6]
Meskipun tidak seumum dalam bahasa Arab dan Ibrani, penggunaan bentuk jamak untuk mengekspresikan keagu-ngan atau kehormatan juga terdapat dalam bahasa Yunani Kuno, termasuk dalam teks-teks Bible. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk jamak tidak selalu menunjukkan jumlah yang lebih dari satu, tetapi bisa digunakan untuk mengekspresikan keagungan, kehormatan, atau intensitas.
Apa yang kita lihat di sini adalah penggunaan plural of majesty, sebuah teknik linguistik yang digunakan untuk menunjukkan kebesaran dan kedaulatan Tuhan, bukan untuk menunjukkan bahwa Tuhan itu lebih dari satu. Dan juga, kita bisa temukan dalam tradisi bahasa Ibrani dan Yunani. Ini adalah cara untuk mengungkapkan kewibawaan tertinggi yang hanya bisa dimiliki oleh Yang Maha Esa.
Tuhan, meskipun berbicara dalam bentuk jamak, tetaplah Tuhan yang satu. Penggunaan kata “kami” dalam konteks ini adalah bentuk penghormatan yang mengingatkan kita bahwa Tuhan adalah otoritas di atas segala otoritas, serta tidak terikat oleh bentuk-bentuk bahasa manusia yang terbatas.
Fuad Abdul Wafi | Annajahsidogiri.id
[1] Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 19 hal. 123. Maktabah Syamilah.
[2] Muhammad al-Amin asy-Syingqithi, al-Adzbu al-Munir, juz 2 hal. 227.
[3] Al-Wahidi, al-Bashith, juz 12 hal. 246-247. Maktabah Syamilah.
[4] https://www.pealim.com/dict/257-livro/.
[5] https://biblehub.com/greek/2316.htm.
[6] https://biblehub.com/greek/2962.htm.