Ilmu tauhid adalah fan pertama yang wajib diketahui oleh seorang mukalaf (Matnuz-Zubad hlm. 3). Sebab, ilmu tauhid dapat mengantarkan seseorang agar dapat mengenal Tuhannya. Sebagai seorang hamba, sudah seharusnya kita mengetahui siapa Zat yang kita sembah, dan bagaimana sifat-sifat-Nya. Bagaimana mungkin kita mengaku sebagai seorang hamba, tanpa pernah tahu siapa yang kita sembah? Maka, masuk akal sekali jika dikatakan bahwa ilmu Tauhid adalah ilmu yang wajib diketahui pertama kali.
Namun, sebagai hamba yang memiliki daya akal terbatas, kita hanya diharuskan mengetahui sifat-sifat yang wajib, jaiz, dan mustahil bagi Allah ﷻ. Kita dilarang untuk memikirkan bagaimana Zat Allah. Imam as-Suyuthi, dalam kitab Ad-Durr al-Mantsûr, telah menguraikan riwayat yang menyinggung hal tersebut:
Baca Juga: Miskonsepsi Rida pada Takdir Allah
وأخْرَجَ ابْنُ ماجَهْ، وأبُو الشَّيْخِ، عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ قالَ: مَرَّ النَّبِيُّ ﷺ عَلى قَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ في اللَّهِ، فَقالَ: تَفَكَّرُوا في الخَلْقِ ولا تَتَفَكَّرُوا في الخالِقِ فَإنَّكم لا تَقْدِرُونَه.
“Imam Ibnu Majah dan Abusy-Syaikh telah mentakhrij hadis dari Sahabat Ibnu Abbas, beliau berkata “Nabi ﷺ pernah melewati suatu kaum yang memikirkan tentang Zat Allah, lalu beliau bersabda ‘Renungkanlah ciptaan Allah, dan jangan kalian merenungkan Dzat Allah, karena sesungguhnya kalian tidak akan pernah mampu”.
Dalam sejarah klasik, sekte Karramiyah adalah salah satu dari sekian aliran sesat yang berusaha memikirkan dan mencapai hakikat Dzat Allah. Ibnu Karram, putra dari pendiri aliran tersebut, mengajak para pengikutnya agar meyakini bahwa Allah memiliki jasad (al-Farqu bainal-Firâq hlm. 203). Meski sekte Karramiyah telah lama terkubur, pemikiran mereka masih terus berlanjut, dan pada zaman ini adalah yang kita kenal dengan sekte Wahabi. Mereka para tokoh Wahabi menggambarkan Allah memiliki tangan, kedua kaki, serta wajah.
Pemikiran semacam ini telah lama ditentang oleh para ulama. Menyamakan Allah dengan makhluk adalah hinaan kepada Allah. Qadhi Abi Bakr al-Baqilani menceritakan bahwa Imam Abul-Hasan al-Busyanji pernah ditanya tentang apa itu tauhid? Beliau menjawab “Tauhid adalah kamu meyakini dan mengetahui bahwa Allah ﷻ tidak memiliki keserupaan dengan bentuk apapun, dan kamu juga tidak menafikan sifat-sifat-Nya” (al-Inshâf Fîmâ Yajibu I’tiqâduhu hlm. 141).
Baca Juga: Arti Kemajuan dalam Islam
Allah ﷻ Maha Suci dari menyerupai makhluk. Bahkan, Allah juga Maha Suci dari khayalan-khayalan yang kita buat. Imam asy-Sya’rani dalam kitab al-Yawâqit wal-Jawâhir fi Bayâni Aqâ’idil-Akâbîr (hlm. 94) menyinggung hal tersebut. Beliau berkata “Apapun yang terlintas dalam benakmu, atau bayanganmu tentang Allah, maka Allah bukan seperti itu”.
Jika masih ada yang berpikir, mengapa bayangan atau khayalan kita tidak bisa mencapai pada hakikat Dzat Allah? Tenang, Syaikh Nuh Ali Salman telah menguraikan jawabannya dengan sangat lugas. “Saat seseorang memercayai keberadaan sesuatu (seperti Allah), tapi dia tidak mampu menjangkau dengan indranya, maka dia akan mencoba meraba-meraba dengan khayalannya. Meski demikian, khayalan tersebut tidak akan melebihi pengalaman indra yang pernah dia tangkap”. Beliau melanjutkan, “Apapun yang kita bayangkan, sejatinya kembali pada pengalaman yang pernah ditangkap oleh indera kita. Sedangkan Dzat Allah tidak pernah ditangkap oleh indra. Saat seseorang berusaha untuk membayangkan Dzat Allah, tentu dia telah salah. Sebab, berarti dia telah menyerupakan Allah dengan perkara baru. (al-Mukhtâshar al-Mufîd fî Syarhi Jauharatit-Tauhîd hlm. 54-55)
Akmal Bilhaq | Tauiyah