Dalam beberapa hal, tidak bisa dipungkiri bahwa paham liberalisme memiliki kemiripan dengan Muktazilah. Keduanya sama-sama lebih mengandalkan akal ketika memahami kitab suci al-Quran. Dalam hal ini, bila terjadi kontradiksi dalam al-Quran, mereka akan lebih banyak melakukan pendekatan dalil akal (Aqliy) lalu menjauhi dalil al-Quran itu sendiri (Naqliy).
Oleh karena itu, ada sebagian paham liberalisme atau dengan kata lain Neo-Muktazilah yang sudah sampai pada taraf pengingkaran terhadap mukjizat (hal menakjubkan yang keluar dari batas kewajaran—خارق للعادة—), karena menurut mereka, kejadian-kejadian tidak biasa yang dialami oleh para nabi tersebut hampir tidak bisa dinalar secara ilmiah (Husain Haikal dalam kitabnya, حياة محمد).
Baca juga: Hijab Tidak Untuk Lelaki
Dengan rasionalisme tinggi yang diterapkan oleh orang-orang liberal, sebenarnya ada kemiripan dengan iblis ketika menolak untuk bersujud kepada Nabi Adam As atas perintah Allah Swt. Ia pikir dirinya lebih baik daripada Nabi Adam As, yang hanya terbuat dari api. Dari aspek apapun, jelas bahwa api yang bersifat menghancukan lebih perkasa daripada tanah yang hanya dijadikan pijakan, itulah alasan iblis yang merasa dirinya lebih baik dari Nabi Adam As. Argumentasi iblis tersebut telah terekam dalam QS. Shad: 76:
قَالَ أَنَا۠ خَيۡرٞ مِّنۡهُ خَلَقۡتَنِي مِن نَّارٖ وَخَلَقۡتَهُۥ مِن طِينٖ ٧٦
(Iblis) berkata: “Aku lebih baik darinya. Engkau (Allah) ciptakan aku dari api, sedangkan dia diciptakan dari tanah liat.
Selain itu, akibat kedangkalan orang-orang liberal mengenai pengetahuan agama Islam, ditambah dengan kekaguman yang berlebihan terhadap peradaban dan kemajuan bangsa Barat, mereka akan memiliki kesimpulan bahwa agama yang dianut Barat juga benar. Selain itu, mereka juga akan berpikir kebenaran itu bersifat relatif, bahkan akan cenderung ikut-ikutan menafikan agama dan tuhan. Sejak dulu, hal tersebut menjadi kekhawatiran utama kita dalam mempertahankan kukuhnya NKRI dari orang-orang komunis Partai Komunis Indonesia (PKI).
Baca juga: Meneguhkan Eksistensi Iman Dalam Toleransi
Pada akhirnya, bisa kita pahami bahwa sebesar apapun kecerdasan yang kita punya, tanpa cinta, maka akan sangat berbahaya. Secerdas apapun dalam berideologi, kalau kita tidak mencintai agama Islam, Allah Swt dan Rasul-Nya, itu hanya akan menjadi boomerang yang justru mengenai tubuh agama Islam. Semoga agama kita selalu dalam keamanan dan kemuliaan, Allâhumma a’izzal-islâma wal muslimîn.
Abrari Ahmadi | Annajahsidogiri.id