Sempat viral beberapa waktu yang lalu pernyataan seorang tokoh Wahabi yang mengatakan bahwa manhaj salaf (manhaj salaf merupakan sebutan yang mereka buat untuk dinisbatkan pada diri mereka sendiri) adalah pemahaman yang benar. Buktinya, Allah memasrahkan kedua kota sucinya, Makah dan Madinah, kepada mereka. Sebab tidak mungkin Allah memasrahkan tempat yang mulia itu pada orang yang tak Ia ridai.
Apakah pernyataan demikian itu bisa dibenarkan? Mari kita simak penjelasan K.H. Idrus Ramli, Pengasuh Pondok Pesantren al-Hujjah, Kencong, Jember kepada Ghazali dari Annajahsidogiri.id beberapa waktu yang lalu.
Di antara dalil aqli yang biasa Wahabi gunakan untuk membenarkan paham mereka adalah, bahwa tidak mungkin Allah memasrahkan kedua kota sucinya (Makah dan Madinah) pada orang yang tak Allah ridai. Pandangan Kiai?
Dalil itu al-Qur‘an, hadis, dan ijma. Kalau pernyataan seperti mereka itu akal-akalan namanya. Bukan dalil ‘aqli, tapi dalil ngakali. Kebenaran tak bisa diukur dengan penguasaan terhadap Makah dan Madinah. Kebenaran itu pada al-Qur‘an, hadis, dan ijma.
Coba cari! Tak ada satupun hadis yang memerintah kita untuk merujuk pada penguasa kota suci bila menemukan perbedaan pendapat. Rasul malah memerintah kita untuk mengikuti sunah Nabi dan sunah khulafa’ ar-rasyidîn, sebagaimana yang tertera dalam hadis riwayat at-Tirmidzi.
Dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Majah dari Anas bin Malik (hadis hasan atau sahih) ada penjelasan:
إِنَّ اللهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اِخْتِلَافاً فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ
“Sesungguhnya Allah tak mungkin mengumpulkan umatku dalam kesesatan. Jika kalian menemukan perbedaan pendapat, maka berpeganglah dengan golongan mayoritas.”
Pada hadis tersebut, Allah memerintahkan kita untuk mengikuti golongan mayoritas. Sekali lagi, golongan mayoritas. Bukan malah mengikuti penguasa kota suci.
Alasan mereka mengatakan demikian dikarenakan kedua kota suci tersebut adalah tempat Islam yang murni, Islam tempat Nabi berada.
Loh, Makah dan Madinah yang sekarang beda dengan yang dulu. Makah dan Madinah yang dulu dikuasai oleh madzhibul-arba‘ah, Asyairah dan Maturidiyah. Baru-baru ini Wahabi yang menguasai keduanya, kisaran dua abad yang lalu. Itupun dengan bantuan Inggris dan Amerika.
Meski Ahlusunah pernah memegang dua kota suci terbilang lama, tak pernah ulama berdalil akan kebenaran Ahlusunah dengan penguasaan terhadap Makah dan Madinah. Karena memang demikian itu tak bisa disebut sebagai dalil.
Apa-apa yang ada di Makah dan Madinah sekarang, itu tidak semuanya ada sejak zaman Rasulullah. Coba sekarang lihat, pedagang-pedagang yang ada di sana, ada di antara mereka yang perempuan, malah membuka aurat (memakai kerudung, namun rambutnya masih terlihat). Apa yang seperti itu ada di zaman Nabi? Tentu tidak ada. Makanya jangan dihubung-hubungkan kebenaran dengan kedua kota suci tersebut.
Pesan Kiai dalam menyikapi pernyataan Wahabi tersebut dan bagaimana cara kita mengetahui standar kebenaran?
Ya tadi itu, standar kebenaran adalah Qur‘an dan hadis, bukan Makah dan Madinah. Coba tanyakan pada orang-orang yang sudah pernah umrah atau haji, pasti mereka pernah menemukan pedagang-pedagang sana yang membuka aurat. Jika demikian, apa Wahabi juga akan ikut membenarkan?
Malah seharusnya di akhir zaman, umat merapat ke Syam, karena ahlul-haq ada di sana, terutama yang ada di Palestina, di jalur Gaza. Itu Rasulullah yang menganjurkan. Ada hadisnya. Mereka itu kebanyakan bermazhab Syafii dan orang-orangnya sufi. Harusnya yang benar malah mengacu ke sana untuk akhir zaman seperti ini. Makanya banyak ulama dulu menulis kitab tentang keutamaan-keutamaan Syam.
Ghazali | Annajahsidogiri.id