Tulisan ini sebenarnya hanya merupakan menyempurnakan dari diskusi kita tentang Aswaja pada tulisan sebelumnya, yang telah mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa bermazhab di dalam agama merupakan suatu keniscayaan. Hal demikian karena sudah merupakan ketetapan Allah yang berlaku di alam ini (sunnatullah), bahwa dalam bidang apapun, termasuk di bidang agama, hanya ada sedikit saja orang yang memiliki pengetahuan mumpuni, menyeluruh dan mendalam di bidang-bidang tertentu. Sedangkan manusia pada umumnya tergolong awam, sehingga orang yang awam haruslah mengikuti dan merujuk kepada para ahli di setiap bidang.
Maka demikian pula di bidang agama; hanya ada sedikit saja orang-orang yang mampu mencapai tingkatan mujtahid, sehingga yang bukan mujtahid haruslah mengikuti (bertaklid) kepada para mujtahid di dalam segenap aspek keagamaan. Fakta ini merupakan sesuatu yang apriori, dan karena itu mestinya bisa diterima oleh siapapun, sebab hal ini memang sudah kita alami sendiri dan terjadi pada diri kita masing-masing. Semisal: dalam urusan penyakit dan obat-obatan kita merujuk pada para dokter ahli, dalam bidang hukum kita merujuk pada ahli hukum, dan begitu seterusnya.
Baca Juga: Keniscayaan Bermazhab
Nah, sekarang, apakah bahayanya jika ada sebagian kelompok menolak untuk bermazhab di dalam agama secara total, dan bersikeras untuk melakukan ijtihad sendiri, tanpa mempedulikan apakah ia sudah memenuhi syarat-syarat berijtihad atau belum; tanpa membeda-bedakan mana yang awam dan mana yang ahli, pokoknya semua harus merujuk langsung pada al-Quran dan hadis, dan menetapkan keputusan hukum dan penafsiran sendiri-sendiri?
Maka jawabannya sudah pasti akan terjadi kerusakan yang teramat parah, sebagaimana kita mempersilakan semua orang untuk mendiagnosa penyakit yang dideritanya sendiri, lalu meresepkan obatnya sendiri, tanpa merujuk pada dokter manapun; atau kita mempersilakan semua orang untuk merujuk langsung ke undang-undang atau kitab hukum dan memberikan penafsiran sendiri atas persoalan-persoalan yang mereka hadapi, tanpa harus merujuk pada ahli hukum manapun. Dapat kita lihat dengan sangat jelas, betapa kerusakan yang terjadi akibat “antimazhabisme” dalam bidang kedokteran dan kehakiman ini akan sangat parah, menyebabkan kematian massal (karena salah diagnosa dan salah obat) dan huru-hara dalam skala yang sangat luas (karena masing-masing orang akan main hakim sendiri).
Jadi, jika setiap orang dari umat Islam ini dipersilakan untuk merujuk langsung pada al-Quran dan hadis untuk menjawab persoalan-persoalan yang mereka hadapi, untuk mencari tahu bagaimana agama memberikan tuntunan dan jawaban atas persoalan-persoalan tersebut, maka betapa kerusakan dalam agama akan segera mewabah dan mengakibatkan kehancuran umat dan rusaknya ajaran agama itu sendiri. Bisa jadi sebagian orang akan langsung mengkafirkan orang lain gara-gara dosa yang dilakukan, sebagaimana telah terjadi pada kelompok Khawarij, dan bisa pula muncul beragam tafsir menyimpang dan bertentangan dengan nilai-nilai final dalam agama, sebagaimana sudah jamak dilakukan oleh kalangan liberalis.
Namun, di samping antimazhabisme, sebetulnya ada virus lain yang sama bahayanya dan bisa menyebabkan kerusakan dalam agama, yakni virus “fanatisme bermazhab”, di mana seseorang atau sekelompok orang (di bidang furu’ syariah) hanya mau merujuk pada mazhabnya sendiri dan anti terhadap mazhab lain; hanya mau memperkuat mazhabnya sendiri di samping melemahkan mazhab lain, dan hobi memuji-muji mazhabnya sendiri di samping menjelek-jelekkan mazhab lain.
Sikap sedemikian jelas sangat tercela, dan tidak pernah terjadi dalam sejarah umat Islam sejak periode yang paling awal (zaman sahabat Nabi), namun baru muncul bersamaan dengan munculnya kelompok-kelompok yang sesat di dalam umat. Sejak zaman sahabat, masyarakat sudah biasa berpindah-pindah mazhab (rujukan dalam agama), dan fakta ini dibenarkan oleh para mujtahid dari kalangan sahabat, tabi’in, generasi berikutnya dan berikutnya lagi, hingga hari ini.
Buktinya, dalam sejarah yang populer diterangkan bahwa jika ada seseorang bertanya tentang suatu permasalahan kepada Sayyidina Abu Bakar, misalnya, maka kadang beliau menyarankan orang itu untuk bertanya kepada Sayyidina Umar. Begitu pula ketika orang itu kemudian mengutarakan permasalahannya pada Sayyidina Umar, beliau malah menyuruh orang itu untuk bertanya kepada Sayyidina Ali. Hal ini, di samping menjadi bukti bahwa ijtihadnya para mujtahid itu bisa sama-sama benar, juga membuktikan bahwa sejak periode yang paling awal dalam Islam, fanatisme bermazhab sudah tidak memiliki tempat sama sekali.
Jadi kesimpulannya, sikap yang benar dalam beragama adalah tidak menutup ruang berijtihad bagi mereka memang yang sudah sampai pada tingkatan tersebut dengan memenuhi segenap persyaratannya, serta mewajibkan untuk bermazhab (taklid) kepada siapapun yang belum sampai pada tingkatan ijtihad. Tentu, mazhab-mazhab yang boleh diikuti menurut Ahlusunah wal-Jamaah adalah mazhab-mazhab yang secara ilmiah sudah terbukti dan teruji dalam sepanjang sejarah perjalanan umat, bahwa mazhab-mazhab inilah yang berhasil menjaga kemurnian ajaran Islam, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. kepada para sahabat beliau (ma ana ‘alaihi wa ashhabi).
Penulis: Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri (ACS)