Banyak dari masyarakat menggunakan azimat baik berupa sabuk, pusaka, tulisan keramat dan semacamnya, sebagai bentuk dari doa itu sendiri. Lalu bagaimana sebenarnya hukum menggunakan azimat itu sendiri? Mengingat terdapat beberapa hadis Rasulullah yang melarang terhadap penggunaan azimat. Diantaranya dari sahabat Abdullah bin Mas’ud:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّ الرُّقَى والتَّمَائِمَ وَ التِوَلَةَ شِرْكٌ
“Saya mendengar Rasulullah bersabda sesungguhnya ruqya, azimat dan pelet adalah perbuatan syirik.” (HR. Abi Dâwud, hadis no. 3385).
Baca Juga: Mitos Nasi Orang Mati
Sebenarnya, azimat (at-tamâim), sudah ada sejak zaman jahiliyah. Hanya saja azimat yang mereka gunakan memang tidak sesuai dengan syariat Islam. Mereka mengalungkan manik-manik di kepala anak mereka dan meyakini bahwa benda itu dapat menjadi tameng dari berbagai penyakit. (Fathul-Bâri, juz X, hal. 196).
Namun kemudian setelah itu ada pergeseran makna dan praktik dalam penggunaan azimat. Para fuqaha mendefinisikan ulang kata “at-tamâim.” Misalkan definisi berikut ini:
قَوْلُهُ كَالتَّمَائِمِ جَمْعُ تَمِيْمَةٌ وَهِيَ وَرَقَةٌ يُكْتَبُ عَلَيْهَا شَيْءٌ مِنَ الْقُرْآنِ وَتُعُلِّقَ عَلَى الرَّأْسِ مَثَلاً لِلتَّبرُّكِ
“Tamaim adalah kertas yang di sana ditulis ayat al-Qur’an dan dikalungkan di kepala, misalnya, sebagai bentuk tabaruk.” (Hâsiyatul-Jamal, juz I, hal. 217).
Maka, yang dimaksud azimat yang bisa menyebabkan syirik dalam hadis Rasulullah adalah, azimat yang memang pemahaman dan praktiknya sebagaimana dilakukan oleh orang jahiliyah; manik-manik yang dikalungkan di kepala dan meyakini bahwa benda itu dapat menolak mara bahaya. Sedangkan azimat yang hanya berupa benda yang berisi asma Allah atau al-Qur’an, sebagaimana didefinisikan oleh fuqaha, dangan maksud dan tujuan bertabaruk serta tetap meyakini bahwa semuanya dari Allah, itu hukumnya tidak apa-apa. (Majmû’ fî Syarhil-Muhazab, juz IX, hal. 63).
Baca Juga: Hidangan Penangkal Keburukan Jin
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa hukum menggunakan azimat itu diperbolehkan asal memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut; Pertama, menggunakan kalam Allah (al-Qur’an) dan asmâ’ Allah. Kedua, harus meyakini bahwa azimat hanyalah bagian dari sebab ‘âdi. Dengan artian seseorang yang memakai azimat harus berkeyakinan bahwa yang memberikan pengaruh terhadap segala sesuatu hanyalah Allah. Di sini Allah hanya memberlakukan adat atau kebiasaan pada hal-hal yang terjadi dengan pemakian azimat itu. Tidak ada keyakinan adanya efek pasti dari jimat itu sendiri. Semuanya hanya berlaku sebagai suatu kebiasaan (Tuhfatul-Murîd, hal. 66). Wallahu a’lam.
Rifqi Ja’far | Annajahsidogiri.id