Belakangan ini, berita tentang childfree kembali mencuat di media massa Indonesia. Sebagaimana liputan Detik.com, hal itu terjadi sejak influencer Gita Savitri Devi mengunggah story di Instagram yang menjelaskan keputusan diri dan suaminya untuk memilih childfree.
Berbeda dengan tahun 1970-an, akhir-akhir ini, pilihan hidup untuk tidak memiliki anak terus meningkat. Dan ironisnya, tren hidup ini sudah mulai dipilih oleh kalangan umat Islam. Namun, bagaimana pun juga, untuk menanggapi fenomena semacam ini, alangkah lebih baik jika kita tanggapi dengan kepala dingin, tidak gegabah, tetapi tetap dengan tanggapan yang berdalil dan berhujah.
Childfree sendiri adalah sebuah komitmen pasangan suami-istri untuk hidup tanpa memiliki anak setelah menikah. Ada beberapa faktor utama kenapa mulai banyak pasangan yang memilih untuk childfree, di antaranya adalah merasa tidak siap menjadi orang tua, tidak mampu mendidik anak, dan tentunya faktor ekonomi, yakni pasutri merasa bahwa mereka tidak akan sanggup membiayai kehidupan sang buah hati.
Dalam tulisan kali ini, penulis tidak akan berbusa-busa membahas seputar hukum childfree secara terperinci. Sebab sebagaimana keterangan-keterangan yang termaktub dalam kitab-kitab fikih, hukum childfree tersebut mengerucut pada dua hukum; makruh apabila hanya bersifat menunda kehamilan, baik dengan cara ‘azl atau menggunakan alat kontrasepsi yang dilegalkan oleh syariat, dan haram apabila sampai mematikan fungsi reproduksinya secara mutlak atau membunuh kandungan yang sudah berbentuk janin dengan cara mengaborsinya. (Ibrahim al-Baijuri, Hâsyiah al-Baijûrî II/92).
Baca Juga: Nikah atau Ibadah?
Terlepas dari kacamata fikih, sebenarnya memilih untuk tidak memiliki buah hati adalah pilihan yang boleh-boleh saja dilakukan oleh pasangan suami-istri. Mengingat Syekh Syauqi Ibrahim Alam dari Dar Ifta Mesir, pernah mengeluarkan fatwa nomor 4713, 5 Februari 2019 terkait hadirnya keturunan dalam keluarga. Bahwa, dalam Islam tidak ada nash al-Quran atau hadis yang mewajibkan pasangan suami-istri mempunyai anak.
Hanya saja yang menjadi problem dalam kasus ini adalah, childfree adalah propaganda non-Muslim yang kini sedang menjadi trendi, menjamur menjadi sebuah gerakan dan dikampanyekan secara masif di khalayak ramai, lebih-lebih di media massa.
Tentu saja, apabila gerakan ini terus berkembang, lalu banyak diikuti oleh banyak umat Islam, maka hal pertama yang membuatnya dinilai sebagai masalah adalah, gerakan ini menyalahi hikmah akad pernikahan. Menurut Imam asy-Syatibi, di antara hikmah disyariatkannya akad nikah adalah menjaga dan melanjutkan keberlangsungan hidup anak-cucu Adam dengan cara melahirkan keturunan (al-Muwâfaqât li asy-Syâtibî 03/139).
Dan benar, ironisnya, berdasarkan survei yang dilakukan oleh peneliti dan penulis buku Childlesnes in United States, Tomas Sobotka dari Vienna Institute of Demoghrapy mengatakan, jumlah pasangan yang menganut childfree semakin bertambah setiap tahunnya. Ia menegaskan bahwa dibanding dekade 1970-an, gerakan ini terus meningkat dari 10% menjadi 20% lebih pada tahun 2000-an. Sementara itu, menurut International Bussines Times melaporkan bahwa Australian Bureau of Statistic menilai akan lebih banyak lagi pasutri yang memilih childfree pada tahun 2023-2029. Dan rencananya, kampanye ini akan terus didengungkan kepada umat Islam.
Maka dengan mengaca riset di atas, childfree ini tidak hanya menyalahi hikmah disyariatkannya akad nikah saja, melainkan juga sangat berpotensi menentang sunatullah secara massal berupa menutup kran estafet peradaban manusia melalui jalur keturunan. Na’udzubillah.
Menurut Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam kitabnya yang bertajuk Ȃdabul-Islȃm apabila childfree ini dijadikan sebagai prinsip hidup dan dikampanyekan agar diikuti oleh banyak orang, maka berubah menjadi haram.
Tidak berhenti di sini, masih banyak lagi sebenarnya problem-problem lain yang membuat childfree ini harus segera dihentikan. Sudah ditegaskan di atas bahwa childfree ini tak lain adalah propaganda non-Muslim yang memang ketika diteliti lebih dalam, niscaya kita temukan rencana buruk yang akan dirasakan oleh umat Islam pada khususnya. Sebab diakui atau tidak, tren hidup ini jauh dari sunah Nabi.
“Nikahilah perempuan yang penyayang dan yang dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu di hadapan para nabi nanti pada hari kiamat” (HR. Ahmad).
Walhasil, mengutip pernyataan Dr. Henri Salahuddin, tidak hanya jauh dari ajaran Islam, kampanye tidak mau punya anak hanyalah produk generasi pendek akal, pendek cita-cita, dan anti masa depan. Mereka terlalu yakin bakal tetap muda terus, tidak menua.
Khoiron Abdullah | Annajahsidogiri.id
Comments 0