Perbedaan pendapat dan pemikiran merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari dalam hal apapun, termasuk dalam memahami hukum-hukum Islam, karena pencetusan beberapa hukum dalam Islam berasal dari ijtihad para ulama, dan tentu hasil ijtihad mereka berbeda-beda.
Perbedaan pendapat para ulama merupakan suatu keistimewaan bagi umat Islam, karena hal itu akan mempermudah mereka serta tidak mengharuskan umat untuk mengikuti satu pendapat dalam beragam keadaan. Andaikan ulama tidak berbeda pendapat, pasti umat akan merasa kesulitan. Hal ini senada dengan perkataan Umar bin Abdul Aziz yang dikutip Ibnu Abdil Bar dalam kitabnya Jâmi’u Bayânil-‘Ilmi wa Fadhlihi (2/80):
مَا يَسُرُّنِي لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَخْتَلِفُوْا لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوْا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ
“Aku tidak suka bila para sahabat Rasullullah tidak berbeda pendapat. Karena seandainya mereka sepakat dalam satu pendapat, maka tidak akan ada kemudahan”.
Karena itulah ikhtilaf umat Rasululah merupakan rahmat bagi mereka, selagi perbedaan itu bukan dalam ranah Akidah (ushul).
Namun perlu digaris bawahi bahwa tidak semua perbedaan pendapat boleh kita ikuti. Setidaknya ada dua syarat, suatu pendapat boleh dijadikan pegangan:
Pertama
Perbedaan pendapat tersebut tidak menyalahi konsensus para ulama (mujma’ alaih). Keputusan hukum yang sudah disepakati para ulama statusnya sama seperti hukum yang tetap dengan nas, sebagaiamana yang dijelaskan oleh Sayid Muhamad al-Maliki dalam kitabnya, Syarî’atullah al-Khâlidah (hal. 31):
وَمَذْهَبُ الجُمْهُوْرِ أَنَّ الإِ جْمَاعَ حُجَّةٌ فيِ الدِّيْنِ مُتَعَبَّدٌ بِهِ ثَبَتَ بِهِ الأَحْكَامُ كَمَا ثَبَتَ بِهِ النُّصُوْصُ الشَّرْعِيَّةُ
“Mayoritas ulama berpendapat bahwa ijma merupakan hujah dalam Agama dan diangap ibadah. Hukum yang hasil dari ijma layaknya hukum yang jelas dalam nas Syariat”.
Dengan demikian hukum yang muncul dari konsensus para ulama tidak bisa ditentang. Jika ada pendapat yang menyalahi mujama’ alaih maka tidak boleh diikuti.
Kedua
Memiliki analisa pemikiran yang kuat (madrak). Pendapat yang dianggap tidak memiliki analisa pemikiran, dengan artian sudah nampak kekeliruannya maka tidak boleh di ikuti, seperti pendapat-pendapat yang menyalahi kaidah qiyas. Syarat ini dikemukakan oleh imam Suyuthi dalam kitabnya, al-Asyabâh wan-Nadzâir (hal. 100)
أَنْ يَقْوَى مَدْرَكُهُ بِحَيْثُ لَا يُعَدُّ هَفْهَةً
“Memiliki anaslisa pemikiran yang kuat, sehingga pendapat tersebut tidak dianggap hanya sebuah kekeliruan”.
Karena itulah Imam Suyuthi melarang untuk mengambil beberapa pendapat Imam Dawud, karena dianggap sebuah kekeliruan. Seperti pendapat beliau yang mengatakan bahwa puasa orang yang berpergian tidak sah.
Imam Suyuthi juga meyampaikan dalam kitabnya, al-Itqân yang dikutip Ibrahim al-Baijuri dalam kitab Tuhfatul-Murîd (hal 27), bahwa tidak semua khilaf bisa diikuti, melainkan khilaf yang memiliki analisa pemikiran yang mapan. Sebagaimana penjelasan beliau:
وَلَيْسَ كُلُّ خِلَافٍ جَاءَ مُعْتَبَرَا * إِلَّا خِلَافٌ لَهُ حَظُّ مِنَ النَّظَرِ
“Tidak semua khilaf yang ada itu dianggap. Yang dianggap hanya khilaf yang mengandung analisa mapan.”
Jadi kita tidak boleh sembarangan dalam mengambil segilintir pendapat yang bertentangan dengan kandungan nas al-Qur’an hadis ataupun kesepakatan para ulama. Akhir-akhir ini sering bermunculan pendapat-pendapat yang menentang konsensus para ulama sekelas mujtahid penghafal ribuan hadis, padahal mereka hanya pemikir yang baru memahami secuil ilmu agama. Pendapat mereka jelas sekali harus kita hindari.
Muhammad Nuruddin | Annajahsidogiri.id