Pendahuluan
Dalam sejarah Islam Khawarij dan Wahabi adalah dua kelompok yang sering diperbincangkan dikarenakan sikap mereka yang sangat tekstualis dan berani angkat senjata untuk saudara sesama muslim.
Meskipun muncul pada konteks sejarah yang berbeda, terdapat benang merah yang menghubungkan kedua kelompok ini dalam hal pendekatan terhadap teks ajaran pokok agama Islam dan aksi ektrimisme terhadap kelompok yang berseberangan.
Khawarij: Benih-benih ajaran menyimpang
Benih paham Khawarij muncul pada zaman Rasulullah, saat seorang bernama Hurqush bin Zuhair As-Sa’di atau yang dikenal sebagai Dzul Khuwaishirah memprotes keputusan Nabi dalam membagikan harta ghanimah. Nabi membiarkannya pergi walau Shahabat Umar sempat ingin membunuhnya. Pasca kejadian itu, Nabi memprediksikan dia dan golongannya akan kembali kelak ketika umat islam mulai terpecah-belah, mereka datang dengan ciri khasnya: Suka meremehkan Ibadah orang lain dan ahli dalam membaca Quran namun tidak bisa memahami isinya. [HR: Al-Bukhari No 3445]
Apa yang prediksikan Rasulullah benar-benar terjadi, diakhir masa pemerintahan Usman terjadi kekisruhan yang dipicu oleh kelompok mereka, begitu juga pada masa Ali, pasca perang Siffin mereka memproklamasikan diri sebagai penentang Shahabat Ali dan Shahabat Muawiyah karena menganggap keputusan tahkim tidak susuai dengan kitabullah, dan muncullah slogan mereka yang terkenal “La hukma illa lilllah” (Tidak ada hukum kecuali milik Allah).
baca juga: Konsep Cinta Tanah Air dalam Perspektif Aswaja
Wahabi: Latar Belakang dan Prinsip
Sejarah terbentuknya wahabi juga tak kalah kontroversialnya dibanding Khawarij, Seorang tokoh dari Najed bernama Muhammad bin Abdul Wahhab merasa resah dengan praktik ibadah orang sekitar yang tidak sesuai dengan ajaran agama, dia bercita-cita untuk memberangus semua praktek yang dianggap bidah, yang tak sesuai dengan al-Quran dan Hadis yang ia fahami, meskipun praktek itu dilegalkan secara fikih, karena kebetulan ia orang yang paling benci ilmu fikih. Saat dewasa Muhammad bin Abdil Wahab pindah ke tempat lain, karena pandangannya ditolak oleh semua kalangan.
Perlu diketahui Muhammad ini merupakan putra dari Syaikh Abdul Wahhab (w. 1135 H.) seorang tokoh terkemukan madzhab Hanbali. Dikisahkan beliau selalu memarahi anaknya Muhammad, karena anaknya malas belajar ilmu fiqih. Syaikh Abdul Wahhab juga berfirasat, bahwa anaknya akan berbahaya kepada manusia. (As-Suhub al-Wabilah, hal. 275).
Di saat yang sama, seorang pemimpin daerah Diriyah bernama Muhammad bin Saud punya keinginan untuk melebarkan kekuasaanya dan menguasai daerah Najd sepenuhnya. Pada waktu itu, Najd terdiri dari banyak suku dan daerah yang berkonflik satu sama lain, dan kekuasaan politik di wilayah itu sangat terfragmentasi.
Maka bertemulah dua kepentingan ini, tepat pada tahun 1157 H, Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdil Wahab menjalin aliansi, pasca kepindahan Muhammad bin Abdil Wahab ke Diriyah kaena mendapat perlawanan dari penguasa dan ulama di wilayah lain.
Muhammad bin Saud melihat ajaran Wahabi sebagai sarana yang pas untuk memperkuat kekuasaannya melalui legitimasi agama, sementara Muhammmad bin Abdil Wahab membutuhkan dukungan politik dan militer untuk menyebarkan ajarannya. Keduanya setuju bahwa Ibn Saud akan melindungi gerakan Wahabi dan mendukung penyebaran ajarannya, sementara Abdil Wahab akan memberikan legitimasi agama kepada pemerintahan Saud. (bersambung)
Fauzan Imron | Annajahsidogiri.id