Kalimat Tauhid sebagai simbol Islam tidak bisa terpisahkan dari tujuan terutusnya Nabi Muhammad. Jika pengertiannya diubah, maka akan mengakibatkan gagal paham pada tujuan Nabi Muhammad diutus. Maka statement Buya Syakur yang mengubah arti Kalimat Tauhid dengan persatuan adalah sebuah kesalahan yang melahirkan kesalahan berikutnya, yaitu gagal paham pada tujuan Nabi Muhammad diutus. Karena saling berkaitan, kami akan membongkar syubhat keduanya sekaligus dalam satu tulisan. Sekali dayung dua pulau terlampaui.
Sebagai pendahuluan, penting kami sampaikan tentang arti Tauhid yang sebenarnya, mengingat bahwa Buya Syakur mengartikannya sebagai persatuan. Syeikh Abdus-Salam bin Ibrahim al-Maliki dalam kitab Ittihâfu al-Murîd Syarh Jauharatit-Tauhîd menjelaskan definisi Tauhid sebagai berikut “Mengesakan Dzat yang disembah (Allah) serta meyakini bahwa Dia satu dalam Dzat, Sifat dan Pekerjaan-Nya”. Demikianlah arti Tauhid yang sebenarnya, secara turun temurun, tidak ada yang berubah. Bahkan, mengartikan Tauhid sebagai persatuan hanya karena berasal dari fi’il madi wahhada (menyatukan) adalah terkesan mengada-ada, tanpa argumen dan dasar yang ilmiah.
Baca Juga: Klaim Janggal Perihal Para Nabi Gagal
Setelah memahami bahwa kalimat Tauhid bukanlah kalimat persatuan, melainkan kalimat mengesakan Allah sebagai Tuhan, jelas bahwa tujuan Nabi Muhammad diutus dengan membawa simbol kalimat Tauhid bukanlah untuk persatuan. Bahkan, asumsi bahwa Nabi Muhammad diutus untuk menyatukan umat manusia, tanpa memandang agama langsung lenyap jika kita membaca surat ghafir ayat 41-42 berikut:
وَيٰقَوْمِ مَا لِيْٓ اَدْعُوْكُمْ اِلَى النَّجٰوةِ وَتَدْعُوْنَنِيْٓ اِلَى النَّارِۗ – 41
Dan wahai kaumku! Bagaimanakah ini, aku menyerumu kepada keselamatan, tetapi kamu menyeruku ke neraka?
تَدْعُوْنَنِيْ لِاَكْفُرَ بِاللّٰهِ وَاُشْرِكَ بِهٖ مَا لَيْسَ لِيْ بِهٖ عِلْمٌ وَّاَنَا۠ اَدْعُوْكُمْ اِلَى الْعَزِيْزِ الْغَفَّار-42
(Mengapa) kamu menyeruku agar kafir kepada Allah dan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu yang aku tidak mempunyai ilmu tentang itu, padahal aku menyerumu (beriman) kepada Yang Maha perkasa dan Maha Pengampun?
Nah dengan melihat ayat di atas, jelas bahwa tujuan Nabi Muhammad adalah untuk mengajak umat manusia kepada Allah, Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. Bahkan dalam ayat 41 dijelaskan bahwa orang yang mengajak kafir kepada Allah berarti sedang mengajak tenggelam di jurang neraka.
Sebagai penguat argumen di atas, kami juga menyajikan ayat lain yang menjelaskan tujuan Allah mengutus Nabi Muhammad. Dalam surat as-Saba’, ayat 28, Allah I berfirman sebagai berikut:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa kabar gembira, dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. As-Saba’ 28).
Setelah pemaparan di atas, maka asumsi bahwa kalimat Tauhid memiliki arti persatuan jelas salah dan fatal. Di samping tidak sesuai dengan definisi Tauhid yang benar, pemahaman tersebut juga menyimpang dari tujuan munculnya agama Islam itu sendiri. Jika mau dipaksakan, maka arti persatuan tersebut harus senyawa dengan tujuan munculnya Islam. Maka arti kalimat Tauhid (versi persatuan) yang benar itu seperti ini “Bersatu dalam kebenaran. Bersatu di bawah naungan Islam. Bersatu mengesakan Allah sebagai Tuhan”
Akmal Bilhaq | Annajahsidogiri.id