Kelompok Salafi-Wahabi adalah aliran yang secara terang-terangan menganggap tawasul sebagai perbuatan syirik, bidah, dan lain sebagainya. Sehingga, dampak tuduhan syirik kepada para pelaku tawasul ini pun membuat mereka mudah mengafirkannya. Dalam menyikapi kesalahan Salafi-Wahabi tersebut, berikut penjelasan Gus Muhammad Faqih, Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Ulum Karang Panas kepada M. Roviul Bada Redaksi Buletin Tauiyah beberapa waktu lalu.
Bisa dijelaskan, bagaimana arti tawasul itu sendiri?
Perlu kita ketahui bahwa tawasul ini merupakan masalah fiqhiyyah yang khâfî (tidak semua orang mengetahuinya). Oleh karenanya, baik seseorang mau bertawasul atau tidak, kita tidak perlu sampai mensyirikkan orang-orang yang bertawasul.
Terlepas dari itu, sebelum kita mengetahui makna tawasul dalam pandangan Islam, ada sebuah dalil umum di al-Quran yang menegaskan keberadaan tawasul. Allah ﷻ berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱبْتَغُوٓا۟ إِلَيْهِ ٱلْوَسِيلَةَ وَجَٰهِدُوا۟ فِى سَبِيلِهِۦ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah ﷻ dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu sekalian beruntung.”
Dari kalimat wasilah di atas, Syekh Ramadhan al-Buthi membagi tawasul menjadi dua bagian. Pertama, tawasul dengan Nabi. Kedua, tawasul dengan selain Nabi. Keduanya terbagi lagi menjadi dua macam, yakni: fî hayâtihi wa ba’da mamâtihi (baik orang yang dijadikan tawasul tadi masih hidup maupun sudah wafat). Begitulah keterangan dalam kitab beliau, as-Salafiyah Marhalatun Zamaniyyah Mubârakah lâ Mazhabun Islâmi.
Mengenai tawasul kepada Nabi saat beliau masih hidup, ulama empat mazhab sepakat memperbolehkannya. Sedangkan yang bermunculan khilaf adalah tawasul kepada Nabi sesudah beliau wafat, begitupun tawasul kepada selain Nabi (ulama atau para wali Allah).
Berhubung sedari awal dijelaskan bahwa tawasul merupakan ranah fikih, yang hanya terjadi perbedaan pendapat antar ulama mazhab dengan catatan tidak sampai mempengaruhi keimanan, maka hal ini seharusnya tidak usah dibesar-besarkan, apalagi sampai tergesa-gesa mengkafirkan. Sebagaimana yang telah maklum, bahwa perbedaan antar mazhab adalah rahmat.
Apa ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam bertawasul menurut ajaran Ahlussunah wal Jamaah?
Pertama kali, ketentuan yang harus dilakukan bagi orang yang bertawasul adalah menata niat yang baik dalam hati, agar keimanan pada diri ini tidak mudah goyah. Dan, yang paling penting adalah mengetahui kalimat yang sedang ia baca (alim).
Akan tetapi, bila seseorang yang bertawasul itu mengerti bahwa apa yang terjadi setelah ia bertawasul adalah murni atas kehendak Allah ﷻ; bahwa makhluk sama sekali tidak membuahkan bahaya dan manfaat, sebenarnya sudah cukup untuk membentengi diri dari kesesatan.
Cara menyikapi Salafi-Wahabi yang mudah menyirikkan orang-orang yang bertawasul?
Sebaiknya, kita tidak perlu risau untuk menolak pemikiran Wahabi yang mudah mengkafirkan pelaku tawasul. Karena, mereka yang demikian adalah orang-orang Wahabi yang hanya ‘ikut-ikutan’. Adapun para ulama mereka tidak sampai ke taraf mengkafirkan.
Hal ini bisa kita lihat dari pendapat Imam Ibnu Taimiyah (ulama yang paling diagungkan oleh Wahabi). Di dalam kitab karangannya, Majmu’ fatâwa, beliau sendiri mengatakan bahwa tawasul adalah masalah yang berbau fikih. Karena ini masalah fikih—menurut beliau—tidak perlu diperpanjang. Sebab, sudah maklum bahwa perbedaan dalam ranah fikih yang berupa ijtihad adalah rahmat.
Roviul Bada | Annajahsidogiri.id