Kini, keadaan Bumi Nusantara sedang tidak baik-baik saja. Nasab Baalawi dipertanyakan kebenarannya. Padahal, sedari dulu tidak ada satupun ulama yang mempertanyakan nasab mereka. Kita lihat bersama bagaimana para habaib dan para kiai sekarang diadu domba. Dengan statemen yang menyatakan bahwa para habaib di Indonesia tidak sambung nasabnya.
Sebagai golongan orang awam yang tidak terlalu mengetahui masalah nasab, sebaiknya kita tidak usah “ikut campur” dalam masalah ini. Sebab, memilih sikap tersebut merupakan pilihan yang mengantarkan kita kepada jalan keselamatan. Dalam Islam, taklid di dalam permasalahan seperti ini sudah menjadi hal yang lumrah diamalkan. Dalam permasalahan fikih, kita yang notabenenya tidak bisa berijtihad, harus taklid kepada para imam mujtahid yang menjadi kiblat kita. Meskipun kita tidak mengetahui bagaimana metodologi penggalian hukumnya, kita wajib mengikutinya. Begitu pula dalam ilmu Nasab.
Sebenarnya, banyak ulama ahli Nasab dan ahli Sejarah yang telah menuliskan ketersambungan marga Baalawi dalam kitab mereka. Al-Imam Bahauddin al-Janadi contohnya. Beliau menyebutkan dalam kitabnya As-Sulûk fî Thabaqatil-‘Ulama’ wal-Mulûk:
وَاَحْبَبْتُ اَنْ اُلْحِقَ بِهِمْ الَّذِينَ وَرَدُوْهَا وَدَرَسُوْا فِيهَا وَهُمْ جَمَاعَةٌ مِنَ الطَّبَقَةِ الاُوْلَى مِنْهُمْ اَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ ابْنِ أَحْمْدَ بْنِ حَدِيدٍ بْنِ عَلِيِّ بْنِ مُحَمَّدٍ بْنِ حَدِيدٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَحْمْدَ بْنِ عِيسَى بْنِ مُحَمَّدٍ بْنِ عَلِيِّ ابْنِ جَعْفَرِ الصَّادِقِ بنِ مُحَمَّدٍ البَاقِرِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ زَيْن العَابِدِينَ بْنَ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيِّ ابْنِ اَبِي طَالِبٍ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ وَيُعْرَفُ بِالشَّرِيْفِ اَبِي الْحَدِيدِ عِنْدَ أَهْلِ الْيَمَنِ اَصْلُهُ مِنْ حَضْرَمَوْتَ مِنْ اَشْرَافٍ هُنَالِكَ يُعْرَفُونَ بِاَلِ اَبِي عَلَوِي
Aku ingin bertemu dengan mereka, orang-orang yang datang dan belajar di sana (Madrasah Ummus-Shultan). Mereka adalah golongan dari tingkatan teratas, diantaranya adalah Abul Hasan bin Muhammad bin Ahmad bin Hadid bin Muhammad bin Hadid bin Ali bin Muhammad bin Hadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Jakfar as-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Beliau (Ali bin Muhammad) dikenal dengan Syarif Abil Hadid oleh orang-orang Yaman. Beliau berasal dari Hadhramaut, dari keluarga mulia di sana yang dikenal dengan marga Abi Alawi.[1]
Kemudian, al-Imam Khairuddin az-Zirikli dalam Kitâbul-A‘lâm menyebutkan:
وَكَانَ مِنْ نَسْلِهِ فِيْ حَضْرَمَوْتَ عُلَمَاءُ وَأَدِبَّاءُ وَصُلَحَاءُ عُرِفَ بَعْضُهُمْ بِالعَلَوِيِّيْنَ، نِسْبَة اِلَى حَفِيْدٍ لَهُ يُدْعَى عَلَوِيٌّ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ عِيْسَى
Di antara keturunannya (Sayyid Ahmad bin Isa) di Hadhramaut itu merupakan ulama, sastrawan, dan orang-orang saleh. Mereka dikenal sebagai Alawiyyin. Dinisbatkan pada cucu Sayyid Ahmad bin Isa yaitu Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa.[2]
Pada asalnya, nama Ubaidillah itu berasal dari Abdullah yang ditasghirkan, karena beliau merasa tidak pantas menyandang nama Abdullah yang berarti hamba sejati Allah. Sehingga, beliau merendahkan dirinya dengan nama Ubaidillah yang berarti hamba kecil Allah.
Baca Juga: Menjawab Pro-Kontra Nasab Baalawi
Dari penafian yang terjadi terhadap nasab Baalawi terdapat konsekuensi yang mengerikan yakni Islam sedari dulu sampai sekarang berada dalam kebohongan, kitab-kitab yang menyebutkan ketersambungan marga Baalawi menampilkan sebuah kepalsuan, padahal para Ulama pasti tahu bahwa penisbatan palsu terhadap nasab Rasulullah ﷺ adalah sebuah dosa yang besar. Jelas, hal tersebut tidak mungkin terjadi, sebab umat Islam tidak mungkin sepakat dalam kesesatan.
Ulama yang mentahqiq kitab asy-Syajarah al-Mubârakah, as-Sayid ar-Raja’i menentang penafian terhadap nasab para Alawiyin. Beliau menyebutkan dalam kitab al-Mu‘qibûn min Âli Abî Thâlib bahwa Sayid Ubaidillah ikut hijrah ke Hadhramaut, bersama ayahnya, Sayid Ahmad bin Isa al-Muhajir. Beliau memiliki tiga putra, yaitu Jadid, Bashri dan Alawi.
Pentahqiq kitab asy-Syajarah al-Mubârakah saja tidak pernah memahami bahwa isi kitab asy-Syajarah al-Mubârakah itu menafikan nasab marga Baalawi, sebagaimana pemahaman mereka yang menafikan nasab Baalawi yang statusnya hanya pembaca.
Ada baiknya kita merenungi dan menghayati salah satu bait nazam Jauharatut-Tauhîd karya al-Imam Ibrahim al-Laqani. Bait indah yang berbunyi:
فَكُلُّ خَيْرٍ فِي اتِّبَاعِ مَنْ سَلَفْ ֍ وَكُلُّ شَرٍّ فِي ابْتِدَاعِ مَنْ خَلَفْ
Setiap kebaikan itu berada dalam mengikuti golongan Salaf, dan setiap kejelekan itu berada dalam bidah yang dimunculkan golongan Khalaf.
Patut untuk kita perhatikan, renungi dan ikuti para ulama panutan di negeri tercinta kita ini. Para Ulama terdahulu seperti KH. Hasyim Asy‘ari, Syaikh Muhammad bin Abdul Ghani al-Banjari, Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan, KH. Maimoen Zubair, KH. Hamid Pasuruan, para Masyayikh Sidogiri, dan ulama salaf lainnya. Mereka semua tidak pernah meragukan nasab Baalawi, apalagi sampai menafikannya. Justru, mereka senantiasa mengajarkan kita untuk selalu mencintai dan menghormati para Alawiyin, karena mereka adalah keturunan baginda Nabiﷺ.
Akhiran, janganlah kita berlarut-larut dalam polemik ini, jangan sampai kita jatuh dalam adu domba antara mereka. Hal itu hanya membuat keadaan semakin memanas, hubungan erat umat Islam akan direnggangkan, persatuan bangsa Indonesia akan hancur berantakan. Cukuplah kita mengikuti para as-Salaf as-Shâlih, yang tidak pernah meragukan apalagi sampai menafikan. Wallâhu a‘lam bish-shawâb
Muh Shobir Khoiri | AnnajahSidogiri.id
[1] Al-Imam Bahauddin al-Janadi, as-Sulûk fî Thabaqatil-‘Ulama’ wal-Mulûk, juz 2 hlm. 135-136.
[2] Al-Imam Khairuddin az-Zirikli, Kitâbul-A‘lâm liz-Ziriklî, juz 1 hlm. 191.