Sudah tidak tabu lagi, pasca wafatnya seseorang lazim diadakan acara-acara positif seperti pembacaan al-Quran, bersedekah, dan sederet amaliah lain yang dikemas dalam bentuk tahlilan dan pahalanya dihadiahkan pada ahli kubur, atau lebih pasnya kita kenal dengan ‘kirim pahala’.
Berkaitan dengan hal ini, belakangan ada sebagian kelompok yang tidak segan mengklaim bahwa semua itu merupakan tindakan yang tercela. Mereka setidaknya mempunyai asumsi bahwa orang yang telah meninggal tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu, apalagi sampai mendengar perkataan orang yang masih hidup. Pendapat dangkal inilah yang sering dikoar-koarkan oleh para pemuka Wahabi. Lantas apakah dibenarkan pemahaman sedemikian?
Perlu dipahami, masih terjadi silang pendapat antar ulama terkait istilah ‘kirim pahala’ kepada orang mati. Ulama yang melegitimasinya, mempertimbangkan terlebih dahulu media apa yang digunakan. Adapun media seperti doa dan sedekah terbukti ampuh dan pahalanya sampai pada mayat. Ketika media yang digunakan berupa pembacaan al-Qur’an, Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Kitab Fathul-Muî’n-nya menyebutkan; pendapat Ashhabusy-Syafi’iyah menyatakan bahwa pahala bacaan al-Qur’an jelas sampai pada mayat. Namun, menurut pendapat masyhur dari kalangan Syafi’iyah berpandangan sebaliknya.
Di antara dalil ulama yang melegitimasi aktivitas penghadiahan pahala bacaan al-Qur’an adalah hadis Nabi ﷺ;
اِقْرَؤُوْا عَلَى مَوْتَاكُمْ يَس
“Bacalah surah Yâsîn terhadap orang yang meninggal di antara kalian”
Para ulama berpendapat bahwa hadis di atas berlaku umum. Artinya, baik dibacakan terhadap orang yang dalam keadaan sakaratul-maut atau yang sudah meninggal di alam kubur. Demikian itu menunjukkan bahwa pahala dari bacaan semisal al-Qur‘an yang diperuntukkan terhadap mereka yang telah tutup usia itu benar-benar sampai dan dibenarkan dalam Islam. (al-Ajwibah al-Ghâliyah fî ‘Aqîdatil-Firqâh an-Nâjiah, hlm. 109)
Terlepas dari pemaparan tadi, kita tahu bahwa seluruh tradisi yang sudah mengakar kuat di kalangan umat Islam tidak lain karena bentuk rasa kepedulian umat kepada sesama. Sebab, tujuan utama diselenggarakannya tahilan adalah memohonkan ampun atau keringanan atas segala perbuatan orang yang meninggal. Tentunya para ahli kubur akan gembira dengan adanya amaliah baik kita dan juga sebaliknya. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam Sabda Nabi ﷺ;
إِنَّ أَعْمَالَكُمْ تُعْرَضُ عَلَى عَشَائِرِكُمْ وَأَقْرِبَائِكُمْ فِي قُبُورِهِمْ، فَإِنْ كَانَ خَيْرًا اسْتَبْشَرُوا بِهِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ قَالُوا: اللَّهُمَّ أَلْهِمْهُمْ أَنْ يَعْمَلُوا بِطَاعَتِكَ
“Sungguh, amal-amal kalian ditunjukkan kepada keluarga dan kerabat kalian di dalam alam kubur mereka. Jika amal kalian baik, mereka gembira. Namun, jika amal kalian tidak baik, mereka berdoa, ‘Ya Allah, berilah mereka ilham untuk berbuat ketaatan kepada-Mu,’” (HR. Abu Dawud).
Akhirnya, begitulah sekelumit pembahasan tentang penghadiahan pahala pada mayit. Aneh rasanya manakala ada orang yang dengan lancangnya melarang keras tradisi yang memiliki landasan kuat dari hadis secara sharih. Wallahu A’lam.
M. Fajrul Falah | Annajahsidogiri.id