Tidak semua menjawab problematika modern harus menggunakan sesuatu yang modern pula. Termasuk wacana dekonstruksi syariah yang dikoarkan oleh Abdullahi Ahmed an-Na’im. Kita bisa dengan lugas menjawab mengunakan Ummul-Barâhîn, salah-satu mata pelajaran Tsanawiyah.
Namun, sebenarnya, menurut Islam, dekonstruksi syariah dibenarkan atau tidak? Secara definisi dekonstruksi adalah penataan ulang. Syariah sendiri berarti khitab Allah yang berkaitan dengan pekerjaan manusia.[1] Penataan ulang syariah sebenarnya sudah berulang-kali terjadi, yakni pada masa para rasul.
Baca Juga: Menemukan Tuhan ala Ummul-Barahin, Karya Imam Sanusi
Imam as-Sanusi dalam Syarah Ummul-Barahîn menjelaskan bahwa ada tiga ciri-khas utusan Allah. Dengan artian setiap rasul pasti memiliki salah-satu dari yang tiga ini, yakni: kitab suci, syariat baru, atau menasakh syariah sebelumnya.[2]
Ini sudah tergolong dekonstruksi. Karena setiap ada rasul baru, pasti menata-ulang syariah, meski tidak semuanya. Syekh Ramadhan al-Buthi dalam Fiqhus-Sîrah menjelaskan bahwa setiap masa, para rasul menyampaikan tauhid yang sama. Namun, dalam urusan syariah, menyesuaikan dengan keadaan masa tersebut. Beliau menyontohkan:
فَقَدْ بُعِثَ مُوْسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ مَثَلًاً إِلَى بَنِي إِسْرَائِيْلِ وَكَانَ الشَأْنُ يُقْضِي بِالنِّسْبَةِ لِحَالِ بَنِي إِسْرَائِيْلِ إِذْ ذَاكَ أَنْ تَكُوْنَ شَرِيْعَتُهُمْ شَدِيْدَةٌ قَائِمَةٌ فِي جُمُوْعِهَا عَلَى أَسَاسِ العَزَائِمِ لَاالرّخَص. وَلَمَّا مَرَّتْ الأَزْمِنًةُ وَبُعِثَ فِيْهِمْ سَيِّدُنَا عِيْسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ كَانَ يَحْمِلُ إِلَيْهِمْ شَرِيْعَةً أَسْهَلَ وأَيْسَرَمِمًّا كَانَ فَقَدْ بُعِثَ بِهِ مُوْسَى مِنْ قَبْلُ ٠ وَانْظُرْ فِي هَذَا إِلَى قَوْلِ اللهِ تَعَالَى عَلَى لِسَانِ عِيْسَى عَلَيْهِ السًّلَامِ وَهُوَ يُخَاطِبُ بَنِيْ إِسْرَائِيْل :
“Nabi Musa diutus kepada kalangan Bani Israel, dan keadaan ketika itu menuntut—dengan meninjau keadaan Bani Israel—untuk menerapkan syariat yang tegas, yang berdiri atas asas ‘azimah, tanpa rukhsah. Ketika zaman berganti, yakni ketika terutusnya Nabi Isa, beliau membawa syariat yang mudah dan ringan dibandingkan dengan ketika zaman Nabi Musa”[3]
Hanya saja, penataan ulang syariah tidak bisa diaplikasikan pada zaman sekarang. Karena hakikat syâri’—sebagaimana penjalasan Imam ad-Dasuqi dalam Hasyiah ad-Dasuqi ala Syarah Ummul-Barahîn—hanyalah Allah. Para rasul sendiri, bila dikatakan syari’, hanya sebatas majaz saja. [4]
Ini penting dikatahui, mengingat setiap hukum tergantung kepada hakimnya. Semisal, hukum akal, yang menentukan adalah akal. Hukum adat, yang menentukan adalah adat itu sendiri. Sedangkan syariat yang memiliki otoritas mengotak-atik hanyalah syâri’.[5]
Wacana dekonstruksi syariah sebenarnya bukan hanya muncul baru-baru ini. Sejak masa Imam al-Ghazali pun, sudah ada yang ingin mengotak-atik syariah. Dalam al-Munqidz minadh-Dhalal disebutkan bahwa ada sekelompok pelajar filsafat yang mengaku beriman. Mereka sampai pada sebuah kesimpulan:
Baca Juga: Imam al-Gazālī dan al-Munqiẓ
“Saya menaati aturan syariah, bukan karena taklid. Hanya saja, saya mempelajari filsafat hingga mengetahui hakikat kenabian, yang pada intinya kembali kepada hikmah dan maslahah. Maksud sebenarnya dari ibadah hanyalah mengikat orang awam, dan menghindarkan mereka dari saling membunuh, bertikai, dan melampiaskan syahwat. Sedangkan saya bukan orang awam. Dengan hikmah dan wawasan saya, saya tidak butuh taklid (mengikuti ajaran syariah)”[6]
Bila beralasan mencocokkan illat dengan keadaan, menggunakan kaidah al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi (hukum tergantung kepada illat-nya) sehingga mengabsahkan adanya pemikiran dekonstruktif atas agama, jelas ini tidak dibenarkan. Karena illat sendiri dalam kaidah tersebut haruslah manshush[7]. Jadi, perubahan hukum tersebut, berdasarkan syariah itu sendiri. Syariah yang sama. Tidak berbeda atau pun baru. Bukan berubah lantaran wawasannya sendiri.
Dari penjelasan singkat ini, kita bisa tahu bahwa yang layak untuk mendekonstruksi syariah hanyalah Allah, yang diwahyukan kepada para rasulnya. Tidak lain!
Muhammad ibnu Romli | Annajahsidogiri.id
[1] Syarah Ummul-Barahin, hlm 33
[2] Ibid, hlm. 175
[3] Fiqhus-Sîrah, hlm. 52-53
[4] Hasyiyah ad-Dasuqi, hlm 33
[5] Syarah Ummul-Barahin, hlm 33
[6] Al-Munqidz minadh-Dhalal, hlm. 114
[7] Syarh Risalah, hlm. 103