Dalam agama Islam, doa merupakan suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari ibadah, karena dalam doa, kita pasti memuji dan mengagungkan Allah ﷻ yang keduanya tersebut merupakan bagian dari ibadah. Dalam Kitab al-Ażkār (hlm. 608), al-Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa pendapat yang dipilih para ulama fikih, hadis, dan ulama lain mengenai hukum dalam berdoa adalah sunah, dan terkadang menjadi wajib seperti halnya dalam shalat jenazah. Selain itu, kata doa disebutkan dalam al-Quran dengan beberapa pengertian; disebut istigāṡah (QS. al- ‘An’am [6]: 41), disebut ibadah (QS. al-Kahfi [18]: 14), disebut permohonan (QS. al-Baqarah [2]: 186) dan (QS. al-Isra’ [17]:52), disebut pujian (QS. al-Isra’ [17]: 111), dan lain-lain.
Dalam hal ini, Allah ﷻ menjadikan doa sebagai salah satu wasīlah (perantara) terpenuhinya permintaan atau terjadinya sesuatu, sebagaimana firman Allah ﷻ dalam surah al-Ghafir ayat 60, yang artinya: “Dan Tuhanmu berfirman, berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku perkenankan bagimu”. Disamping itu, setiap sesuatu pasti sudah ada ketetapan dari Allah ﷻ, kemudian Allah ﷻ menjadikan takdir (seperti tertolaknya musibah dan mendapatkan sebuah kenikmatan) tidak bisa terjadi kecuali dengan doa.
Begitu pula, dalam kitab Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn (hlm. 389), al-Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa tertolaknya musibah yang didasari sebuah doa juga termasuk rentetan takdir. Peran doa adalah sebagai perantara, seperti halnya sebuah perisai untuk menangkis ketajaman pedang atau anak panah dan air untuk pertumbuhan tanaman. Lantas kemudian, bisakah doa yang kita panjatkan pada Allah ﷻ mengubah takdir (?)
Baca Juga: Dalil Cinta Tanah Air
Dalam kitab Minḥatul-Ḥamīd fī Syarḥi Jauharatit-Tauḥīd (hlm. 260), KH. Qaimuddin menjelaskan bahwa kita tidak bisa mengetahui sesuatu yang akan terjadi dan kita tahu bahwa Allah ﷻ tidak akan memerintahkan sesuatu (doa) kecuali di dalamnya terdapat manfaat. Maka, tidak ada bedanya antara kita berusaha dan berdoa ketika dinisbatkan (dikaitkan) kepada takdir. Sebab, takdir adalah urusan Allah ﷻ semata. Bahkan keduanya itu termasuk takdir.
Namun, dalam kitab Tuḥfatul-Murīd ‘alā Jauharatit-Tauḥīd (hlm. 102), Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri menjelaskan bahwa tidak mustahil doa bisa mengubah takdir yang Allah ﷻ hubungkan atau kaitkan berubahnya dengan doa dan juga menurunkan sesuatu yang turunnya tersebut dikaitkan dengan doa. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Sayidah ‘Aisyah bahwasannya Nabi ﷺ bersabda: “Ketakutan tidak bisa menolak takdir. Doa itu dapat memengaruhi apa yang terjadi dan tidak, sedangkan bala’ (musibah) terkadang ketika turun terhalang doa sehingga keduanya saling bertentangan hingga hari kiamat”. Dalam hadis yang lain Nabi ﷺ juga bersabda: “Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa”.
Dari kedua hadis di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa keberadaan doa jika mendahului takdir, maka doa berperan memalingkan kejadian atau perkara yang dibenci oleh makhluk, sedangkan takdir yang mendahului doa itu berperan memalingkan sifat benci menjadi rela. Berpalingnya sifat tersebut (benci menjadi rela) dikarenakan doa yang mampu mendekatkan diri kita kepada Allah ﷻ.
M. Syauqiy Ramadhan | Annajahsidogiri.id