Baca Artikel Sebelumnya
Dalam epistemologi Islam, ilmu bisa didapatkan oleh tiga metode. An-Nasafi, seorang teolog muslim dari kalangan al-Maturidiyah berkata: “Sebab-sebab ilmu ada tiga, yaitu akal, panca indera dan khabar shadiq (informasi yang pasti benar)”. Dari ketiga media tersebut, Barat hanya mengingkari khabar shadiq sebagai metode ilmu. Maksud khabar shadiq adalah informasi yang memilki sumber yang banyak dan dipastikan valid. Di antara khabar shadiq adalah wahyu dan nas-nas agama yang disampaikan melalui mata rantai sanad. Dalam hal ini meneliti kebenaran nas agama bukan dengan mempertimbangkan isinya dengan akal dan panca indera, tetapi meneliti kevalidan informasi dengan metode kritik sanad atau yang dikenal dengan jarh wa ta’dil. Selain, hal ini juga didasarkan pada keyakinan yang mendalam akan kebenaran semua yang disampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Baca Juga: Sejarah Liberalisasi di Indonesia
Keberadaan khabar shadiq sebagai mediator kebenaran tidak dapat dibantahkan. Hal ini dapat dilakukan ketika melalui proses yang dibenarkan, yaitu disampaikan oleh banyak sumber terpercaya dengan mata rantai sanad yang sambung. Khabar shadiq tidak hanya dalam nas agama, tetapi general kepada semua informasi. Al-Buthi memberikan contoh dengan informasi sejarah yang telah diyakini kevalidannya oleh semua orang, seperti keberaadaan Revolusi Perancis. Semua orang pasti percaya sejarah tersebut dan tidak bisa membantahnya. Hal itu karena sejarah semacam ini telah ditulis para sejarawan dan dibenarkan secara terus menerus oleh satu generasi ke generasi. Namun, perbedaannya dengan wahyu, informasi sejarah dan lainnya—setelah dianggap valid—harus diteliti kebenarannya melalui kritik sejarah. Kritik sejarah ini telah dijelaskan panjang lebar oleh Ibnu Khaldun di dalam Muqaddimah-nya.
Kepesatan perkembangan sains di Barat telah banyak menyita perhatian para ulama. Maka mucullah para mufassirin yang mendalami ayat-ayat kauniyah dan membuktikan kebenarannya secara ilmiyah dengan hasil observasi para saintis Barat. Oleh karena itu, tak jarang kita temukan banyak kalangan yang mencari justifikasi kebenaran saint dengan nas al-Qur’an, dengan tujuan menujukkan kebenaran al-Qur’an. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa hasil penelitian saint juga banyak bertentangan dengan nas agama. Sehingga sebelum menelusuri dalil al-Qur’an, diharuskan memastikan hasil saint tersebut memang terbukti (qhat’i) atau hanya bersifat teori (dzanni). Karena bagaimanapun al-Qur’an adalah qath’i sehingga tidak bisa dipertentangkan dengan analisa manusia yang bersifat dzanni.
Bahrul Widad | Annajahsidogiri.id