Baca Juga: Epistemologi dan Legalitas Diskursus Kalam #1
Setidaknya ada beberapa pertanyaan yang sering mereka lontarkan untuk menegasikan kalam dari bagian diskursus keislaman, seperti yang diungkapkan oleh Hasan as-Syafi’i dalam karyanya, al-Madkhal `ilâ Dirâsah ‘Ilm Kalâm.
Pertama, mereka melarang menggeluti ilmu kalamdengan bertedensi ayat Alquran yang berbunyi, “Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah”. (QS. Ali Imran: 7) dan Hadis yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu’aib Ra. tatkala Rasulullah Saw. mendapati sahabat-sahabatnya bertengkar karena persoalan takdir, lalu Nabi Saw. bersabda: “Sebab inikah kalian diperintah? Atau karena inikah kalian diciptakan? Kalian membenturkan sebagian ayat Alquran dengan ayat yang lain, sebab inilah umat-umat terdahulu dibinasakan.” (HR. Ibn Majah).
Baca Juga: Mengurai Perbedaan Filsafat dan Ilmu Kalam
Untuk menjawab kemusykilan mereka, Hasan menukil perkataannya al-Bayyadli, “Bahwa yang dilarang adalah ucapannya filsuf dan (yang mengandung) permusuhan, adapun diskusi yang bertujuan mengungkapkan kebenaran maka tidak ada larangan di dalamnya, bahkan (yang seperti itu) diperintahkan oleh firman Allah Swt. yang berbunyi: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125).
Dan juga, diharamkannya penalaran logis terhadap sesuatu yang tidak dapat ditakar oleh akal—seperti Zat dan sifatnya Allah Swt.—tidak berarti kita bersikap skeptis terhadap persoalan lain di ilmu kalam. Karena skeptisme yang seperti ini, malah menegasikan firman-firman Allah Swt. yang memerintahkan umat-Nya untuk berkontemplasi dan menadaburkan ciptaan-Nya.
Kedua, mereka berasumsi bahwa para sahabat Nabi Saw. tidak pernah menyinggung persoalan tauhid yang terlalu dalam dan imam-imam mujtahid pun enggan membicarakannya. Perihal sahabat Nabi Saw., al-Bayyadli menjelaskan bahwa kondisi yang dihadapi mereka tidak seperti yang menimpa umat Islam setelahnya, yang disusupi oleh keyakinan yang tidak sejalan dengan masa mereka. Sehingga patut para sahabat tidak membahasnya.
Walaupun begitu, banyak diriwayatkan bahwa mereka turut mengambil langkah konfrontatif terhadap logika yang impulsif dari sekte Qadariah dan Jahmiah di awal kemunculannya.
Ahmad Ilham Zamzami | Peneliti Annajah Center Sidogiri, Mahasiswa tingkat akhir Fakultas Usuludin, Dept. Akidah & Filsafat, Universitas Al-Azhar, Mesir dan Direktur Kajian Teologi PCINU Mesir