Mari kita mulai diskusi pada bagian ini dengan pertanyaan yang telah penulis lontarkan pada bagian sebelumnya: bagaimana kita memadukan antara sistem alam yang berpijak pada perubahan berkelanjutan tanpa jeda, dengan tatanan syariat Islam yang dibangun di atas sistem yang tetap tanpa menerima perubahan betapapun ruang dan waktu terus berubah? Lalu bagaimana pula kaitannya dengan klaim bahwa syariat Islam harus terus selaras dan pantas untuk setiap ruang dan waktu?
Baca Juga: Filsafat Proses dan Syariat Islam dalam Pandangan al-Buthi (Bagian V)
Sebenarnya, kejanggalan seperti itu muncul dari persepsi bahwa syariat Islam muncul dari sumber dan dibangun di atas dasar yang berbeda dengan sistem alam yang — sebagaimana telah kita diskusikan di muka — dibangun di atas dasar perubahan, peralihan, dan perkembangan yang terus menerus. Mereka yang mempersepsi syariat Islam sedemikian berarti telah memosisikan syariat Islam setara dengan hukum-hukum positif buatan manusia, di mana manusia memang tidak memiliki andil, peran, dan intervensi apapun dalam menciptakan dan mengoperasikan sistem yang berlaku di alam raya ini.
Jika persepsi seperti itu (menyetarakan syariat Islam dengan hukum positif buatan manusia) yang digunakan untuk melihat syariat Islam, maka tesis tentang “kesesuaian syariat Islam dengan segala ruang dan waktu” menjadi terbantahkan, batal, dan tidak benar adanya, sebagaimana hukum-hukum positif buatan manusia juga tidak mungkin relevan untuk setiap ruang dan waktu.
Sebab faktanya, para pembuat hukum-hukum positif senantiasa melakukan amandemen, perubahan-perubahan radikal, pembuangan, penambahan, pengurangan, terhadap item-item hukum yang mereka buat sebelumnya agar bisa selaras untuk ruang dan waktu yang terus berubah. Jadi jika karakter syariat Islam dianggap sama dengan hukum positif, maka pencipta syariat Islam itu juga harus melakukan perombakan yang berkelanjutan terhadap hukum-hukum yang telah ada, agar bisa sesuai dengan ruang dan waktu yang terus berubah.
Hanya saja kejanggalan semacam itu akan segera pudar jika kita memahami, dengan sinaran argumen-argumen yang kuat dan bukti-bukti yang tak terbantahkan, bahwa sumber masing-masing dari tatanan alam dan tatanan syariat Islam itu satu, yaitu Allah subhanahu wa ta‘ala.
Baca Juga: Epistemologi Barat vs Islam (Part I)
Mereka yang telah memahami fenomena perubahan berkelanjutan sebagai karakter dari sistem yang berlaku di alam materi, juga akan memahami fenomena keserasian dan keselarasan yang sempurna antara tatanan alam dengan tatanan syariat Islam, seandainya mereka memberikan perhatian yang semestinya (dengan mempelajari, memikirkan, dan meneliti secara serius) terhadap tatanan syariat Islam sebagaimana perhatian mereka terhadap tatanan alam.
So, bagaimana mungkin keserasian dan kepaduan antara tatanan alam dan tatanan syariat Islam tidak bisa terwujud dengan sempurna, selagi kita memahami bahwa sumber dari kedua sistem dan tatanan itu adalah satu, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla? Jadi jawabannya sudah pasti: bahwa keserasian dan keserasian antara keduanya adalah jaminan pasti dan tidak terbantahkan. Namun bagaimana kita menjelaskan dan menguraikan gambaran keterpaduan itu? Hal inilah yang akan kita diskusikan pada tulisan berikutnya, insya-Allah.
Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri