إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى جَعَلَ لِلْعَبِيْدِ كَسْبًا وَاخْتِيَارًا مَيَّزَهُمْ بِهَا عَنِ الْجَمَّادَاتِ وَالْبَهَائِمِ فَجَعَلَ الْعَبْدَ قَادِرًاعَلَى الْفِعْلِ وَخَلَقَ لَهُ نِيَّةً قَصَدَ يَخْتَارُ بِهَا الْفِعْلَ لِيَمْتَازُ بِهِ عَنِ الْمَكْرُوْهِ وَالْمَحْظُوْرِثُمَّ إِنَّهُ أَرْسَلَ الرُّسُلَ وَأَنْزَلَ الْكُتُبَ وَأَمَرَ بِالْإِيْمَانِ وَالطَّاعَةِ وَنَهَى عَنِ الْكُفْرِوَالْمَعْصِيَةِ
“Allah yang Maha Suci dan Maha Luhur telah menciptakan perbuatan, dan ikhtiyar yang membedakan manusia dari benda-benda mati, dan hewan-hewan. Allah menjadikan seorang hamba agar mampu mengerjakan sesuatu, dan menciptakan niat guna memilih pekerjaan yang tidak berhukum makruh dan dilarang. Kemudian Allah mengutus para Rasul, dan menurunkan kitab, memerintahkan iman dan taat, serta melarang kufur dan maksiat” (al-Ma’man minad Dhalâlah II/83).
لا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ
“Tidak ada amalan seorangpun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelematkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah” (HR. Muslim no. 2817).
Hadis di atas menjelaskan tentang “hakikat” bahwa amal seorang hamba sama sekali tidak menjamin dia untuk masuk surga. Dalil semacam inilah yang seringkali disalah pahami oleh sebagian kalangan. Mereka berpikir, jika masuk surga adalah kehendak Allah, maka untuk apa kita beramal di dunia? Bahkan parahnya, mereka berani menggugurkan perintah syariat jika telah sampai pada maqam hakikat. Bagaimana cara memahami hakikat dengan benar? Simak kajian berikut!
Memang benar jika dikatakan masuk surga tidak didasarkan pada amal, melainkan fadl dan rahmat Allah, tapi tidak benar jika masih mempertanyakan untuk apa beramal di dunia. Karena Allah telah membocorkan kriteria para penghuni surga dalam firman-Nya, yaitu mereka yang beriman dan beramal kebajikan, mengikuti perintah juga menjauhi larangan-Nya sebagaimana termaktub dalam Surat an-Nisa’ ayat 122 berikut:
وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًاۗ وَعْدَ اللّٰهِ حَقًّا ۗوَمَنْ اَصْدَقُ مِنَ اللّٰهِ قِيْلاً
Dan orang yang beriman dan mengerjakan amal kebajikan, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan janji Allah itu benar. Siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah? (QS. An-Nisa’ [122]) (Al-Anfal: 24)
Dalil tentang hakikat berfungsi sebagai “penyadaran” kepada manusia bahwa Allahlah yang sebenarnya memasukkan mereka ke surga, bukan amal baik mereka. Tentu, cara berpikir yang benar adalah terus beramal sesuai “syariat” sebagai bentuk mengikuti perintah-Nya dan meyakinisecara ‘hakikat’ bahwa bukan amal itu yang menyebabkan kita masuk surga. Maka sangat tepat jika Hadratus-Syeikh Kiai Ahmad Nawawi bin Abdul Jalil mendefinisikan syariat sebagai bentuk beriman dan mengikuti perintah Allah, menjauhi kufur dan larangan-Nya. Karena yang harus kita lakukan hanyalah beribadah (bukan malah menggugurkannya), urusan masuk surga atau tidak, adalah murni kehendak Allah. (al-Ma’man minad Dhalâlah II/83).
Dari sini kita bisa belajar dua hal. Pertama, meyakini bahwa hanya Allah yang memiliki kuasa mutlak atas semua makhluk, termasuk memasukkan surga atau tidak. Kedua, Berusaha semaksimal mungkin untuk taat dan mengikuti perintah-Nya.
Orang yang menyangsikan kewajiban beribadah di dunia dan meninggalkan urusan akhirat dengan berdalih hakikat, tentu gagal paham pada makna hakikat yang sebenarnya. Bagaimana dia meyakini bahwa Allah punya kuasa mutlak atas sesuatu, jika perintah-Nya saja ditinggalkan. Bahkan, orang yang meyakini bahwa cukup dengan hakikat, tanpa mengamalkan syariat adalah orang yang sesat menurut penjelasan Sayyid Bakri ad-Dimyathi dalam kitab Kifâyatul-Atqiyâ’ wa Minhâjul-Ashfiyâ’, beliau berkata:
“Siapa saja yang mengira bahwa orang yang telah menjadi wali dan sampai ke level hakikat, ketentuan syariat telah gugur darinya, maka ia adalah orang yang sesat, menyesatkan, dan ingkar-menyimpang. Ibadah wajib tidak pernah gugur dari para nabi, terlebih lagi dari para wali Allah” Wallahu a’lam.
Akmal Bilhaq | Annajahsidogiri.id