Pada umumnya, setiap kuburan memiliki tanda pengenal yang bertuliskan identitas mayat pada batu nisan atau kayu, supaya keluarga atau orang yang ingin menziarahi mengingat tempatnya. Penulisan identitas tersebut berupa nama, tanggal lahir, tanggal wafat dan terkadang juga kalimat istirja’.
Sebenarnya bagaimana perihal hukum menulis nama mayit pada batu nisan?
Hukum memberi tulisan pada batu nisan dihukumi boleh bila dijadikan sebagai alamat (tanda). Hal ini sebagaimana keterangan Dr. Mahmud Said Muhammad Mahmud, ketika mengomentari hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Katsir bin Zaid al-Madani dari Muthallib:
أَنَّهُ لمَا مَاتَ عُثْمَانُ بنِ مَظْعُوْن أَخْرَجَ بِجَنَازَتِهِ، فَدُفِنَ فَأَمَرَ النَّبِي صلى الله عليه وسلم رَجُلًا أَنَّ يَأْتِيْهِ بَحَجَرٍ فَلَمْ يَسْتَطِع حَمْلَهُ، فَقَامَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ الله صلى الله عَلَيْهِ وَسَلّم وحسر عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَحَمِلَهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَأْسِهِ، وَقَالَ: أتعلم بِهَا قَبْرَ أَخِي، وَأدْفَنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِيْ
“Ketika Usman bin Madhun wafat lalu dimakamkan, Rasulullah memerintahkan seorang laki-laki untuk meletakan batu di kuburannya, namun ia tak mampu. Lantas Nabi sendiri yang mengangkatnya hingga terlihat keletihan pada kedua tangan Nabi. Nabi meletakkan batu itu disamping kepalanya, lalu bersabda, ‘Aku memberi tanda pada kuburan saudaraku dan aku mengubur orang yang wafat dari keluargaku’.”
Hadis tersebut memberi dua pemahaman. Pertama, boleh meletakan batu sebagai tanda agar orang yang berziarah mengenalnya. Kedua, batu tersebut diletakkan di tempat kepala mayat atau di pinggirnya.
Al-Allamah Badri al-Aini dalam menyarahi kitab Sunan Abi Daud menilai kebolehan meletakan batu di samping kuburan mayat sebagai alamat. Dan juga boleh mengumpulkan orang-orang mati dalam satu kompleks. Beliau juga mengatakan bahwa meletakan papan di kepala mayat sebagai alamat hukumnya boleh sebagaimana kebiasaan orang-orang pada umumnya.
Namun jika kita tengok dalam kitab al-Iqnâ’, akan ditemukan keterangan yang memakruhkan hal tersebut:
وَتُكْرَهُ الْكِتَابَةُ عَلَيْهِ أَيْ عَلَى الْقَبْرِ وَلَوْ لِقُرْآنٍ بِخِلَافِ كِتَابَةِ الْقُرْآنِ عَلَى الْكَفَنِ فَحَرَامٌ؛ لِأَنَّهُ يُعَرِّضُهُ لِلصَّدِيدِ
“Makruh menulis diatasnya, yakni di atas kuburan meskipun satu ayat al-Qur’an. Beda halnya dengan tulisan al-Qur’an yang berada di kain kafan maka hukumnya haram karena berpontensi terkena dengan cairan proses penguraian jenazah.”
Mengenai pendapat di atas, Syeikh Sulaiman al-Bujairami memberi tanggapan bahwa tulisan pada kuburan terbilang makruh apabila tidak ada hajat. Ketika penulisan itu memiliki tujuan tertentu, maka tidak makruh, asalkan hanya ala kadarnya. Berikut keterangan tersebut termaktub dalam kitab Bujairami ‘alal-Khatib:
وَمَحلُّ كَرَاهَةِ الْكِتَابَةِ عَلَى الْقَبْرِ مَا لَمْ يُحْتَجْ إلَيْهَا، وَإِلَّا بِأَنْ اُحْتِيجَ إلَى كِتَابَةِ اسْمِهِ وَنَسَبِهِ لِيُعْرَفَ فَيُزَارَ فَلَا يُكْرَهُ بِشَرْطِ الِاقْتِصَارِ عَلَى قَدْرِ الْحَاجَةِ
“Letak kemakruhan tulisan pada kuburan selagi tidak ada hajat. Bila ada hajat seperti menulis nama mayat dan nasabnya agar orang yang berziarah tahu, maka tidak makruh sebatas hajat tersebut.”
Dari pelbagai keterangan di atas hukum peletakan batu nisan atau memberi nama pada kuburaan dihukumi boleh selagi ada keperluan tertentu, seperti sebagai tanda pengenal!
Abil Muhammad Hasan | Annajahsidogiri.id