Menjelang akhir tahun seperti sekarang, hukum tentang tasyabbuh (keserupaan) dengan orang kafir biasanya akan menyeruak ke permukaan. Sebab kita akan berhadapan dengan dua perayaan besar umat Kristiani, yaitu perayaan Hari Natal dan Tahun Baru. Dari poros Wahabi, mereka akan mutlak menghukumi kafir setiap pelaku tasyabbuh. Sedang dari poros liberal akan menghukumi boleh-boleh saja ber-tasyabbuh ria dengan mereka. Lalu bagaimana sebenarnya posisi Ahlusunnah dalam menyikapi tasyabbuh dengan orang kafir?
Kaum Wahabi menghukumi kafir, sebab mereka menelan mentah-mentah sebuah hadis yang sangat masyhur, yaitu hadis:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad)
Berlandaskan hadis tersebut, sebagian orang Wahabi langsung menuding kafir kepada orang Islam yang ikut mengucapkan selamat natal dan tahun baru, misalnya.
Sedangkan orang liberal, mereka terkesan memaksakan dalil untuk melegalkan setiap bentuk tasyabbuh dengan orang kafir. Di antara dalil orang liberal adalah ayat berikut ini:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
(al-Maidah: [5:48])
Dengan mengotak-atik ayat di atas, orang liberal beralasan bahwa perbedaan adalah sunatullah. Sebab setiap umat beragama memiliki syariat tersendiri yang tak perlu diperselisihkan. Kata mereka, kita tak perlu mempersoalkan perkara tasyabbuh yang demikian, toh perbedaan adalah sunnatullah yang harus kita terima dengan lapang dada.
Sebenarnya, hadis tentang larangan untuk ber-tasyabbuh dengan orang kafir (Yahudi-Nasrani) banyak sekali. di antaranya adalah hadis:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (biawak), pasti kalian akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim).
Akan tetapi, menurut ulama kita, tidak semua tasyabbuh dengan orang kafir itu dihukumi kafir atau berdosa. Ulama masih memberikan klasifikasi mengenai tasyabbuh ini berdasarkan dalil lain. Dalam kitab Fatawa al-Kubra disebutkan, pelaku tasyabbuh dengan orang kafir dihukumi kafir pula apabila ada kecondongan dan kerelaan pada agama yang ditasyabbuhi. Jadi, jika orang Islam merayakan hari Natal misalnya, dengan tujuan menyerupai orang kafir di dalam syiar agama mereka, maka inilah yang dihukumi kafir. Akan tetapi, jika ikut merayakannya tanpa memandang pada kekafirannya dan tidak ada kecondongan kepada agama mereka, maka hal ini pelakunya tidak langsung dihukumi kafir, hanya dia dihukumi berdosa. Dan, jika di dalam tasyabbuh tersebut tidak ada maksud apa-apa, hanya kebetulan belaka, maka pelakunya tidak dihukumi berdosa, tetapi dihukumi makruh. [1]
Sedangkan ayat yang dijadikan dalil oleh orang liberal sangat tidak nyambung jika dibawa dalam permasalahan ini. Mereka terkesan memaksakan dalil agar pendapat mereka diterima oleh orang yang dangkal pemahaman agamanya.
Di dalam kitab Zadul Masir, ada dua penafsiran atas ayat di atas. Penafsiran pertama, bahwa bagi ahli Taurat ada syariat tersendiri, bagi ahli Injil ada syariatnya, juga bagi ahli al-Quran juga ada syariatnya, untuk menguji siapa yang taat pada syariat tesebut. Penafsiran yang kedua, bagi setiap orang yang memeluk agama Islam, maka al-Quran harus dijadikan syariat dan hujah. [2]
Walhasil, posisi kita, Ahlusunnah Waljamaah dalam masalah tasyabbuh adalah ada di tengah-tengah, antara poros yang Ekstrem Kiri seperti orang-orang Wahabi, dan poros yang Ekstrem Kanan seperti orang-orang liberal. Maka kita harus pintar-pintar dalam menyikapi masalah tasyabbuh ini, apalagi dalam waktu yang sedang populernya masalah tasyabbuh. Jangan sampai kita terlalu mengurung diri sehingga kita kaku menyikapi hal ini. Sebab terkadang dari kekakuan itu timbul percikan api yang menyulut ketegangan yang tak penting. Namun kita juga tidak perlu terlalu melepas diri sampai kebablasan, yang menyebabkan kita terperosok dan membengkok dari rel yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasulnya. Wallahu A’lam.
[1] al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra 4/238
[2] Zadul Masir 2/370
Baqir Madani/Annajahsidogiri.id