Kebanyakan pemikiran terhadap nas-nas Islam yang melahirkan ide-ide kontroversial, terutama yang menyimpang ke kiri (liberal), disebabkan problem salah baca: mereka meneropongnya dari sudut pandang luar Islam, padahal Islam punya falsafahnya sendiri, yang berbeda dengan falsafah di luarnya. Begitu pula, nas-nas Islam punya metodologi ilmiah, yang jika dibaca dengan metodologi asing yang tidak ilmiah, jelas bikin gagal paham. Untuk lebih jelasnya, mari kita masuk pada contoh spesifik, sekadar sebagai sampel. Kita ambil ide-ide kontroversial feminis terkait dengan nas-nas al-Quran atau hadis yang mereka tuduh tidak adil dan bias gender. Sekali lagi, sumber kekeliruan mereka karena membaca nas dari sudut pandang di luar Islam.
Diferensiasi dan keunikan itu bisa kita perjelas dari sisi sejarah, bahwa feminisme lahir sebagai hasil trauma masyarakat Barat terhadap Kristen, yang pada masa lalu memang tidak adil pada wanita. Jadi pada hakikatnya falsafah feminisme itu ialah “pemberontakan pada agama (Kristen)”. Sementara Islam ialah agama yang sejak awal memang mengangkat martabat wanita, dan tidak punya pengalaman buruk seperti Kristen.
Nah, ketika falsafah feminisme ialah pemberontakan pada Kristen, kemudian seseorang membaca nas-nas Islam dari sudut pandang tersebut, maka pasti akan terjadi kerancuan pemikiran dan kesimpulan yang gagal total. Selanjutnya akan sangat banyak nas-nas al-Quran dan hadis-hadis yang dianggap bias gender, tidak adil, bahkan merendahkan wanita, padahal problemnya gara-gara keliru landasan pijak dan sudut pandang.
Lalu bagaimana cara melakukan pembacaan dengan falsafah islami dan sudut pandang Islam? Mari kita masuk pada diskusi yang lebih spesifik lagi. Kita ambil salah satu nas al-Quran dan hadis Nabi. Misalkan kita membaca ayat:
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“…Bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (Q.S. an-Nisa [04]: 11).
Feminis menganggap ini ketidakadilan, bias gender, dan mereka – sesuai dengan falsafah mereka – memberontak, tidak menerima penjelasan dan argumen apapun. Dugaan ketidakadilan di situ tentu bersebab problem salah baca: membaca nas dengan falsafah dari luar Islam.
Sekarang, mari kita coba membaca dengan falsafah dan akidah Islam: Bahwa Allah Mahaadil, tidak mungkin hukum-hukum-Nya tidak adil. Allah tidak bergender, tidak mungkin bias gender. Semua hukum-hukum disyariatkan untuk kemaslahatan hamba. Allah tidak punya kepentingan apapun.
Nah, jika kita yakin Allah Mahaadil dan tidak mungkin bias gender, maka selanjutnya kita akan berusaha mencari pemahaman yang benar, melalui metodologi ilmiah yang baku. Metode ilmiah yang baku untuk membaca ayat di atas adalah ilmu faraid, atau ilmu mawarits, yang mengatur perihal pembagian harta warisan dengan lengkap. Tentu juga dengan mengikutkan aturan relasi suami-istri dalam Islam.
Para ulama mengatakan, bahwa bagian seorang anak lelaki setara dengan dua orang anak perempuan itu hanya terdapat dalam satu kasus atau satu keadaan saja. Adapun dalam kasus dan keadaan yang lain, justru banyak orang perempuan yang mendapatkan bagian lebih besar ketimbang lelaki. Bahkan secara overall, bagian perempuan malah lebih banyak.
Ketentuan khusus pembagian warisan pada kasus di atas, adalah karena terkait dengan aturan lain dalam Islam yang mewajibkan lelaki menafkahi perempuan. Sedang perempuan tidak berkewajiban menafkahi, bahkan dinafkahi. Karena itu, justru akan tidak adil kalau dalam rumah tangga lelaki diwajibkan menafkahi, tapi dalam hukum warisan ia malah memperoleh bagian yang setara dengan wanita.
Nah, ketentuan unik ini jangan dibaca dari sudut pandang di luar Islam. Misal: agama lain atau masyarakat yang tradisinya sama-sama bekerja, atau malah istri saja yang bekerja. Masalah agama lain, suatu bangsa atau suatu masyarakat punya ketentuan atau tradisi yang berbeda dengan hukum relasi suami-istri yang ditetapkan Islam (suami wajib menafkahi), maka itu jangan kemudian dijadikan argumen untuk beropini bahwa Islam tidak adil. Itu jelas tidak nyambung dan cacat logika.
Contoh lain, adalah suatu hadis:
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ
“Tidak pernah aku melihat orang yang akal dan agamanya kurang, namun mampu menghilangkan keteguhan lelaki yang teguh, melebihi kalian, wahai para wanita.”
Biasanya feminis menggugat, dan membuat tuduhan tak berdasar bahwa Islam merendahkan wanita, hanya berlandaskan pada potongan kalimat “ناقصات عقل ودين” saja. Ini jelas cara baca yang tidak ilmiah dan tidak islami.
Secara akidah, kita harus yakin bahwa sabda Baginda Nabi adalah syariat, yang hakikatnya adalah wahyu:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
Jika sabda Baginda Nabi itu tidak keluar dari nafsu, melainkan datang dari Allah yang telah memuliakan manusia (وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْ آَدَمَ), maka mungkinkah hadis itu bertujuan merendahkan wanita?
Selanjutnya, kita harus yakin bahwa Nabi adalah manusia paling mulia, dan tidak ada orang yang lebih memuliakan manusia melebihi Baginda Nabi. Dengan begitu, apa mungkin Nabi itu bermaksud merendahkan wanita dengan mengatakan mereka itu akal dan agamanya minus?
Terlebih, sebagaimana kronologi yang diterangkan dalam kelengkapan hadis, Baginda Nabi menyampaikan sabda itu pada momen Idul Fitri atau Idul Adha; momen yang disyariatkan berbahagia dalam Islam. Lalu bagaimana mungkin Nabi akan menyakiti wanita, terlebih pada momen kebahagiaan?
Jika keyakinan sebagaimana di atas sudah menancap dalam diri kita, tentu kita akan mencari pemahaman yang benar akan makna hadis itu, agar tidak bertentangan dengan akidah Islam. Kita tidak akan ceroboh menuduh Islam merendahkan wanita, sebagaimana dilakukan kalangan feminis, hanya dengan bermodalkan ketidakpahaman.
Jadi apa kiranya yang dimaksud Baginda Nabi bahwa, “Wanita itu akal dan agamanya minus”? Pada kelanjutan hadis dijelaskan, bahwa maksud akalnya minus, karena persaksian wanita adalah separuh laki-laki. Sedang yang dimaksud agamanya minus, karena wanita tak bisa menunaikan salat dan puasa pada waktu haid.
Dengan demikian, minus di sini adalah minus yang alamiah dan kodrati belaka, sedangkan minus yang sudah fitrah atau kodrati seperti itu bukan suatu hal yang menyebabkan tercela, karena ada hikmah tersendiri dalam penciptaan Allah, guna terciptanya keseimbangan kosmik (keterangan soal ini kiranya butuh diskusi tersendiri).
Lalu jika Baginda Nabi tidak mencaci, karena beliau tak pernah mencaci makanan sekalipun, apalagi mencaci manusia – hasya wa kalla; dan jika minus kodrati wanita itu bukan hal yang menyebabkan mereka tercela, lantas apa maksud sabda Baginda Nabi di atas?
Para ulama mengatakan, bahwa Baginda Nabi justru bermaksud memuji para wanita. Mari perhatikan terjemah hadisnya sekali lagi: “Tidak pernah aku melihat orang yang akal dan agamanya kurang, namun mampu menghilangkan keteguhan lelaki yang teguh, melebihi kalian, wahai para wanita.”
Jadi Baginda Nabi itu kagum dan takjub dengan kaum wanita; mereka ini akal dan agamanya minus, namun mampu mengalahkan keteguhan lelaki yang teguh; bisa melelehkan hati lelaki yang kuat nan hebat. Sungguh luar biasa para wanita itu. Begitulah maksud dari sabda Baginda Nabi tersebut.
Dengan uraian dan pemahaman sedemikian, tentu kesan bahwa Islam merendahkan wanita segera hilang, bahkan berbalik 180 derajat menjadi pujian terhadap kaum wanita. Dan tentu, pemahaman seperti ini berkesesuaian dengan akidah Islam, kesucian syariat, dan kemuliaan Baginda Nabi. Wallahu a‘lamu bish-shawab
Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri