Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi derajat wanita. Dalam Islam, wanita tidak boleh dilecehkan, dihina apalagi didiskriminasi sebagaimana yang dilakukan pendeta-pendeta Kristen pada masa kegelapan, yang biasa disebut Inkuisisi.
Islam juga melarang wanita untuk membuka aurat, hal itu tidak lain merupakan aturan yang bertujuan memuliakan wanita. Mengapa? Karena aurat wanita sangat menggoda kaum lelaki, sehingga jika aurat wanita diumbar-umbar di hadapan kaum pria, maka akan membuat mereka ingin melakukan hal yang tidak diinginkan, yang akan menyebabkan harga diri wanita hancur dan menjadi hina.
Kendati demikian, banyak sekali yang salah paham terhadap perlakuan Islam terhadap wanita, dan menganggap bahwa Islam telah merendahkan wanita. Misal, dalam Islam wanita sebaiknya berada di rumah, sebaiknya wanita tidak bekerja di luar rumah untuk menafkahi anak-anaknya. Sebab, dalam Islam, kewajiban menafkahi sudah dibebankan kepada suami.
Maka, untuk menghilangkan kesalahpahaman ini ada beberapa hal yang perlu kita cermati:
Kesetaraan Dalam Islam
Syekh Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya, Allâhu Amil-Insânu Ayyuhuma Aqdaru ‘Alâ Ri‘âyati Huqûqil-Insân, menyebutkan bahwa salah satu fondasi yang ada dalam berbagai hukum dalam Islam adalah kesetaraan atau keadilan. Islam telah menjunjung tinggi kedua hal ini dalam hukum-hukumnya.
Kesetaraan dalam Islam ini muncul tanpa adanya pendorong apapun, karena hal tersebut merupakan tujuan Islam dalam memproleh keadilan antara umatnya. berbeda dengan kesetaraan yang diusung oleh orang Barat, sebagaimana sudah maklum bahwa kesetraan di barat muncul lebih disebabkan karena diskriminasi yang dilakukan oleh para pendeta terhadap umat wanita, atau biasa disebut Inquisisi.
Selanjutnya, maka tidak ada satupun hukum yang ada dalam Islam yang tidak adil atau tidak setara. Sebab, Allah ﷻ telah menetapkan hukum dengan pondasi keadilan tanpa ada perlakuan mengistimewakan jenis apapun, sesuai firman-Nya yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dalam ayat tersebut sangat jelas bahwa orang yang paling mulia dihadapan Allah ﷻ adalah orang yang paling mulai tanpa pandang bulu; apakah dia pria atau wanita.
Namun, beliau kembali memaparkan bahwa bahwa adil tidak harus sama, dalam artian untuk memenuhi keadilan dalam suatu hukum tidak harus menyamaratakan dalam berbagai jenis termasuk laki-laki dan perempuan, termasuk dalam berkarir.
Dalam berkarier, semisal di kantor, tentu yang paling mampu dan konsisten dalam hal ini adalah laki-laki, bukan perempuan. Sebab, laki-laki identik dengan kegagahan dan kekuatannya serta tidak cepat lelah.
Sebenarnya, Islam tidak melarang wanita untuk bekerja diluar rumah selama dia bisa menjaga aurat, kehormatan serta manjauh dari pandangan pria. Masalahnya, pada zaman sekarang sangat sulit bagi kaum hawa untuk menjaga hal tersebut.
Selain itu, wanita dalam hal pekerjaan tidak memiliki kapasitas apapun, wanita identik dengan mahluk yang tidak memiliki kekuatan untuk bekerja lama serta cepat lelah. belum lagi jika wanita sedang melahirkan, mengambil cuti dua hari. Kemudian ketika menyusui, mengambil cuti lagi dua tahun, tentu hal itu akan menganggu target-target dari perusahaan.
Maka, jika yang berkarir adalah laki-laki, sedang wanita hanya diam di rumah saja menjaga anak-anak, hal tersebut merupakan keniscayaan dalam kehidupan sesuai dengan fitrah masing-masing, bukan menabrak adanya keadilan.
Adil Tidak Harus Sama
Selanjutnya, dalam kitab kawâsifuz-zuyûf, Imam Abdurrahman al-Midani menuturkan bahwa jika kita tahu bahwa jika pria bekerja, sedang wanita diam di rumah merupakan keniscayaan, bukan menabrak keadilan, maka jika terbalik; wanita yang berkarir sedang pria menjaga anak dirumah, hal tersebut merupakan kedzaliman yang nyata. Sebab, telah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Mengapa sedemikian? Mari kita berpikir sejenak, ketika ada kakak adik yang masih sekolah, yang kakak dijenjang SMP sedang yang adik masih SD. Apakah kita akan menyamaratakan uang jajan keduanya? semisal masing-masing dari keduanya mendapatkan jatah lima ribu? Tentu tidak, perlakuan demikian justru akan berbuat zalim kepada sang kakak, karena seharusnya dia memiliki jatah lebih daripada adiknya. Sebab, seseorang jika jenjang pendidikannya semakin tinggi, maka akan semakin besar pula kebutuhannya.
Wal-hasil, pernyataan kaum liberal yang mengatakan bahwa hukum Islam tidak adil terhadap wanita merupakan kesalahan fatal yang disebabkan ketidakpahaman mereka dalam hukum-hukum Islam. Selain karena kesetaraan adalah pondasi hukum Islam, keadilan itu sendiri tidak harus sama rata dalam sebagian sisi, justru jika sama rata akan menimbulkan kezaliman. Wallâhu a‘lam.
Moh Zaim Robbani | Annajahsidogiri.id