“Pada zaman sekarang ini kita mendapati ada orang yang meragukan keharaman khamr atau riba, atau tentang bolehnya talak dan berpoligami dengan syarat-syaratnya. Ada yang meragukan keabsahan Sunnah Nabi Saw sebagai sumber hukum. Bahkan ada yang mengajak kita untuk membuang seluruh ilmu-ilmu al-Quran dan seluruh warisan ilmu pengetahuan al-Quran ke tong sampah, untuk kemudian memulai membaca al-Quran dari nol dengan bacaan kontemporer, tanpa terikat oleh suatu ikatan apa pun, tidak berpegang pada ilmu pengetahuan sebelumnya. Juga tidak dengan kaidah dan aturan yang ditetapkan oleh ulama-ulama Islam semenjak berabad-abad silam.” Syaikh Dr. Yusuf al-Qardhawi.
Penyataan Ketua Persatuan Ulama Muslimin se-Dunia ini mewakili kegelisahan umat Islam atas munculnya paham dan pemikiran dekonstruktif terhadap syariat Islam. Paha mini populer dengan sebutan Islam liberal. Sebagian ulama meyakini bahwa Islam liberal ini ribuan kali lebih berbahaya terhadap akidah dan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah dibandingkan Syiah, Murji’ah, Khawarij dan paham-paham sempalan yang lain.
Di antara beberapa alasan betapa berbahayanya Islam liberal, alasan yang paling pokok adalah karena paham ini tidak lahir dan tumbuh dari umat Islam. Paham ini diracik dan diformulasikan oleh orientalis selama sekian abad untuk merusak ilmu dan pemahaman agama Islam yang sudah mapan dan terjaga mata rantai riwayatnya hingga generasi Salaf. Paham ini, melalui pelajar-pelajar dan para peniliti yang minder kepada Barat kemudian diekspor ke dunia Islam.
Di Indonesia, Islam liberal sebenarnya sudah lama menjadi konsumsi umat Islam. Akan tetapi hanya terbatas di kalangan peneliti dan akademisi saja. Paham ini baru tersebar luas dan menemukan momentumnya pada awal abad 21 ini. Dengan dikomandani oleh Ulil Abshar Abdalla paham ini kemudian dengan cepat mewabah dan merusak tatanan keagamaan dan pola pikir umat Islam Indonesia.
Dalam sebuah artikel yang dimuat Hidayatullah.com disebutkan bahwa gerakan dan aliran pemikiran ini bermula dari sebuah ajang kongkow-kongkow di Jalan Utan Kayu 69H, Jakarta Timur. Tempat ini sejak 1996 menjadi ajang pertemuan para seniman sastra, teater, musik, film, dan seni rupa. Di tempat itu pula Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang salah satu motor utamanya Ulil berkantor. Bersama Goenawan Mohammad (mantan pemimpin redaksi Tempo) serta sejumlah pemikir muda seperti Akhmad Sahal, Ihsan Ali Fauzi dan Saiful Mujani, Ulil kerap menggelar diskusi bertema ‘pembaruan’ pemikiran Islam.
Setelah berdiskusi sekian lama pada akhir 1999 Ulil dan kawan-kawan sepakat memperkenalkan serta mengkampanyekan pemikiran mereka dengan bendera Islam Liberal. Lalu untuk mengintensifkan kampanyenya mereka membentuk wadah Jaringan Islam Liberal (JIL) pada Maret 2001.
Dengan ditunjang kucuran dana dari Asia Foundation kampanye Islam liberal gencar dilancarkan melalui berbagai cara. Mulai dari forum kajian dan diskusi, media cetak hingga media elektronik. Media internet juga tak ketinggalan mereka garap. Mula-mula dengan membuat forum diskusi internet (mailing list) kemudian dilanjutkan dengan membuat situs web dengan alamat www.islamlib.com.
Kampanye lewat media cetak dilakukan sangat gencar. Selain melalui majalah seperti Tempo dan Gatra, JIL mendapat porsi publikasi besar di koran Jawa Pos dan 40 koran daerah yang tergabung dalam Jawa Pos-Net. Dengan nama rubrik Kajian Utan Kayu, setiap hari Ahad JIL mendapat jatah satu halaman penuh untuk diisi tulisan para pengusung ide Islam liberal, antara lain Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Jalaluddin Rakhmat dan Masdar F Mas’udi.
Istilah Islam liberal dipilih oleh kalangan JIL untuk menamakan gerakan dan pemikiran mereka. Pemilihan ini terinspirasi dari buku Liberal Islam: A Sourcebook karya Chares Kurzman (edisi bahasa Indonesia berjudul Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, diterbitkan oleh Paramadina). Memang dari buku itu pula JIL meminjam enam agenda rumusan Charles Kurzman. Enam isu itu: antiteokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-Muslim, kebebasan berpikir dan gagasan tentang kemajuan.
Anti Penegakan Syariat
Mengapa JIL begitu gencar menyebarluaskan pemikirannya? Seperti diakui oleh para pentolannya, meski nama Islam liberal baru dikenal belakangan ini, sebenarnya Islam liberal bukanlah suatu pemikiran baru. Di Indonesia pemikiran Islam liberal telah dirintis oleh antara lain Harun Nasution, Nurcholish Madjid dan Munawir Sjadzali. Mereka adalah orang-orang yang sejak tahun 1970-an dan 1980-an menggelindingkan ide ‘pembaruan Islam’, berupa Islam rasional, dekonstruksi syariah dan sekulerisasi. Namun, kata Ulil Abshar kepada Gatra, para perintis itu gagal memasyarakatkan gagasan Islam liberal ke masyarakat.
Kegagalan itu antara lain karena tidak adanya pengorganisasian secara sistematis. Atau, menurut Luthfi Assyaukanie, gerakan Islam liberal sebelum ini terlalu elitis. Gagasan itu lebih banyak dibawa kalangan akademisi dan peneliti yang tak mengakar ke masyarakat, sehingga opini publik tetap dikuasai oleh kalangan Islam ‘konservatif’ yang memiliki jaringan kuat dan mengakar ke masyarakat. Karena itu, kalangan JIL merasa perlu memiliki jaringan kuat agar pemikiran liberal bisa berkompetisi dengan pemikiran kaum revivalis. Dengan kata lain, Islam liberal adalah tandingan Islam revivalis.
Apa beda Islam liberal dan Islam revivalis? Charles Kurzman mendefinisikan, Islam revivalis berusaha mengembalikan kemurnian Islam seperti di zaman Rasulullah, tetapi tidak ramah dengan kehadiran modernitas. Sedangkan Islam liberal, masih kata Kurzman, menghadirkan masa lalu Islam untuk kepentingan modernitas. “Ia menghargai rasionalitas,” kata Kurzman. Sebuah pengkategorian yang sangat layak diperdebatkan. Tapi lepas dari perdebatan itu, menurut kalangan JIL, dalam konteks Indonesia, kaum revivalis adalah mereka yang mendukung penegakan syariat Islam oleh negara dan menolak sekulerisme. Sebaliknya, kaum Islam liberal adalah mereka yang mendukung sekulerisme dan menentang penegakan syariat Islam oleh negara.
Pemikiran revivalis, katakanlah begitu, tercermin dalam FPI (Front Pembela Islam), atau Laskar Jihad yang lebih kuat, atau jaringan PK (Partai Keadilan) yang lebih mengakar,” kata Ulil menyebut lawan tandingnya.
Untuk menandingi kalangan revivalis, kini JIL telah menyusun sejumlah agenda, antara lain: kampanye sekulerisasi seraya menolak menolak penegakan syariat Islam, menjauhkan konsep jihad dari makna perang, penerbitan Al-Quran edisi kritis, mengkampanyekan feminisme dan kesetaraan gender serta Pluralisme. “Menurut saya, beragama secara kaffah itu tidak sehat dilihat dari pelbagai segi? Agama yang ‘kaffah’ hanya tepat untuk masyarakat sederhana yang belum mengalami ‘sofistikasi’ kehidupan seperti zaman modern? Beragama yang sehat adalah beragama yang tidak kaffah,” ungkap Ulil dalam rubrik Kajian Utan Kayu Jawa Pos.
Tapi tentu saja kalangan yang disebut revivalis juga tidak tinggal diam. Mereka juga telah menyusun agendanya sendiri, meski mungkin tanpa gembar-gembor kampanye seperti yang dilakukan kalangan JIL. Yang penting bekerja saja. Tinggal dilihat nanti siapa yang lebih ditolong Allah: mereka yang berjuang menegakkan syariat Allah atau mereka yang alergi kepada syariat-Nya?