Dalam khazanah keislaman, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Allah ﷻ adalah pencipta seluruh makhluk hidup. Oleh karena itu, sangat mengherankan apabila ada seseorang yang mengaku sebagai Muslim namun tidak meyakini bahwa Allah ﷻ adalah pencipta alam semesta. Pandangan semacam ini dapat ditemukan dalam salah satu sekte sempalan Syiah yang dikenal dengan nama Ismailiyah.
Ismailiyah merupakan cabang dari Syiah Imamiyah yang berpisah pandangan pada persoalan Imâmah ketujuh. Menurut penganut Ismailiyah, imam ketujuh adalah Ismail bin Ja’far, sedangkan dalam pandangan Syiah Imamiyah, imam ketujuh adalah Musa al-Kazim. Hal ini disebabkan karena Ismail meninggal lebih dahulu, sehingga tongkat estafet kepemimpinan, menurut Imamiyah, berpindah kepada Musa. Di sisi lain, penganut Ismailiyah tetap bersikukuh bahwa penerus Imam Ja’far adalah Ismail. Mereka berpendapat bahwa seorang imam tidak mungkin melakukan kesalahan, maka jika kepemimpinan diberikan kepada Musa, itu berarti secara tidak langsung menuduh Imam Ja’far telah keliru dalam menunjuk Ismail sebagai penerusnya.
Karena itu, mereka meyakini bahwa Ismail sebenarnya tidak meninggal, melainkan menyembunyikan diri dari ancaman Dinasti Abbasiyah yang saat itu gencar memburu Ahlul Bait yang dianggap menentang kekhalifahan. Keyakinan ini menjadi dasar munculnya konsep “imâm mastûr” atau imam yang tersembunyi.
Baca Juga; Bukti Kongkret Akan Kebenaran Kenabian Hud
Selain mengadopsi ajaran dasar Syiah, Ismailiyah juga banyak mengintegrasikan filsafat Yunani ke dalam sistem kepercayaan mereka. Tidak mengherankan jika banyak ajaran mereka yang cenderung mendekati pemikiran rasionalistik, bahkan dalam beberapa aspek terkesan menjurus pada pandangan yang tidak jauh dari ateisme. Hal ini merupakan hasil dari sintesis antara doktrin Islam dan filsafat asing yang mereka anut.
Hal ini dapat kita temukan dalam beberapa pandangan mereka terkait konsep ketuhanan dan kenabian. Kaum Ismailiyah meyakini bahwa Allah ﷻ tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Oleh karena itu, menurut mereka, Allah ﷻ bukanlah pencipta langsung alam semesta. Sebaliknya, Allah ﷻ hanya memancarkan Akal Universal (al-‘Aql al-Kullī) dan Jiwa Universal (al-Nafs al-Kullīyah), yang kemudian menjadi sebab terciptanya seluruh makhluk di alam ini.
Sebagai dasar dari pandangan ini, mereka mengutip hadis Nabi: “Awwalu mā khalaqallāhu al-‘aql” (أول ما خلق الله العقل) — “Hal pertama yang diciptakan Allah ﷻ adalah akal.” Mereka menafsirkan hadis ini secara filosofis, dengan menempatkan akal sebagai entitas primordial yang bertindak sebagai perantara antara Tuhan dan ciptaan-Nya.[1]
Selain itu, mereka juga menolak untuk menetapkan sifat-sifat bagi Allah ﷻ. Menurut mereka, menyifati Allah ﷻ dengan sifat-sifat seperti Maha Melihat, Maha Mendengar, atau Maha Berkalam adalah bentuk penyamaan Allah ﷻ dengan makhluk, khususnya manusia. Bahkan, dalam pemikiran ekstremnya, mereka sampai menolak sifat wujūd (eksistensi) bagi Allah.
Imam Al-Ghazali mengomentari pandangan ini dengan tajam, beliau berkata:
“Menafikan sifat wujūd bagi Allah pada hakikatnya adalah bentuk pengingkaran terhadap keberadaan Tuhan, hanya saja dibungkus dengan permainan kata-kata.”
Adapun dalam pandangan mereka mengenai kenabian, kaum Ismailiyah meyakini bahwa nabi dan para utusan memiliki tiga jenis pancaindra batin yang membedakan mereka dari manusia pada umumnya:
Baca Juga; Membedah Hadis Syiah
Quwwah Qudsiyah – Sebuah daya spiritual yang memungkinkan nabi untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan batiniah (ilmu laduni) secara langsung, tanpa proses belajar.
Quwwah Khayaliyah – Dengan kemampuan ini, para nabi dapat berkomunikasi dengan malaikat Jibril melalui bentuk-bentuk imaji (visualisasi batin).
Quwwah Nafsaniyah – Daya ini memungkinkan para nabi untuk menampakkan hal-hal luar biasa yang dikenal sebagai mukjizat.[2]
Selain itu, kaum Ismailiyah juga kerap menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara serampangan dan mengklaim bahwa tafsiran tersebut merupakan makna batin dari ayat. Penafsiran semacam ini seringkali dimaksudkan untuk menguatkan corak filsafat dalam ajaran Islam versi mereka.
Mereka meyakini bahwa syariat memiliki dua sisi: lahir dan batin. Sebagai contoh, menurut mereka, makna batin dari ibadah puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, melainkan menjaga agar ajaran-ajaran rahasia mereka tidak tersebar kepada khalayak umum.
Kesimpulannya Ismailiyah bisa dikatakan sebagai Islam secara dzahir, namun Filsafat secara batin jika kita mengacu kepada ragam pemikiran mereka yang lebih mendekati kepada filsafat Yunani.
Ahmad Jawwad|Annajahsidogiri.ID
[1] Ahmad Jali, Dirâsatul-Firaq, hlm. 272-286
[2] Ibid.