Jabatan itu Titipan
اِنْ أَرَدْتَ أَنْ لاَ تُعْزَلَ فَلَا تَتَوَلِّ وِلَايَةًلَا تَدُوْمُ لَكَ
“Jika kau tidak ingin dilengserkan, maka jangan mencari ‘pangkat’ yang tak kekal.”
Setiap hendak dihelat pemilihan umum (pemilu), baik tingkat daerah, kecamatan, kabupaten atau negara, pasti akan kita jumpai antusiasme tinggi dari para calon pengemban amanah yang mahabesar nan berat itu. Membludaknya calon ‘pemimpin’ bukan tanpa pertimbangan. Secara matematis, tentu mereka telah mempertimbangkan keputusan pengajuan diri sebagai ‘wakil rakyat’, oret-oretan, analisa SWOT. Konsultasi ke sana ke mari menjadi hal wajib sebelum mengambil keputusan besar, mencalonkan diri dalam drama pemilu.
Di samping itu, berbagai kedudukan, jabatan atau posisi juga menjanjikan berbagai keuntungan baik intern atau ekstern. Sepintas, jika terpilih sebagai presiden, gubernur atau bupati, seseorang akan populer, dihormati, dimuliakan, dihargai bahkan disegani oleh khalayak masyarakat. Secara penampilan wakil rakyat atau pemimpin juga tampil lebih rapi, mewah, elit dan terhormat. Terlebih, fasilitas kerja yang ditawarkan sedemikian mewah nan berkelas, membuat si empunya betah berlama-lama mengemban amanah besar ini, meski terkadang tidak dilaksanakan dengan baik, bahkan terkadang dia sendiri tidak becus.
Baca Juga: Dosa: Bekal Menuju Surga
Tentu, berbagai fasilitas indah, kedudukan prestisius, popularitas atau hal lain yang menggiurkan itu sedikit banyak mempengaruhi calon ‘wakil rakyat’ sehingga lupa akan hakikat sebuah amanah. Tak pelak, dalam mempromosikan diri, mereka jor-joran melakukan segalanya, demi menarik simpati, perhatian dan ujung-ujungnya ‘mengemis’ dukungan dari masyarakat. Mereka bersilat lidah demi meyakinkan masyarakat akan kualitas, skill ataupun kemampuan. Bagaikan makhluk tanpa cacat, menjelma malaikat dalam waktu singkat. Setiap menggelar kampanye, mereka selalu mengumbar janji palsu yang jarang ditepati. Habis manis sepah dibuang. rakyat pun tertipu oleh janji palsu yang semu.
Padahal, yang lebih pokok dan primer bagi calon pemimpin adalah berpikir bagaimana menunaikan amanah dengan penuh tanggung jawab dan dedikasi tinggi, bukan berpikir bagaimana memperoleh profit orientit dari jabatannya. Sebab pada dasarnya, sebuah jabatan, pangkat atau posisi merupakan amanah yang dianugerahkan oleh Allah U sebagai tanggung jawab. Tanggung jawab yang mesti dijalani dengan penuh kesadaran bahwa kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Jika dalam mengemban amanah dia khianat atau tidak jujur, maka tentu, dia dianggap gagal dan harus berani mempertanggungjawabkan akibat dari perbuatannya. Begitu pula sebaliknya, jika dia bisa mengemban amanah dengan baik tentu dia akan mendapatkan kesuksesan besar, baik di dunia maupun di akhirat. Selain itu, berarti dia juga mampu mengkonversikan dawuh Rasulullah, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bisa bermanfaat kepada orang lain.”
Baca Juga: Rabi’ah al-Adawiyah; Sang Pencetus Tasawwuf Cinta
Dalam karya monumentalnya, Ibnu Athaillah mengimbau dan memberi lampu hijau kepada calon wakil rakyat supaya benar-benar menunaikan amanahnya sepenuh hati serta penuh tanggungjawab. “Jika pemegang amanah merasa gembira karena memiliki pangkat, karena bisa hidup mewah, dihormati dan memiliki popularitas. Tentu pada akhirnya, dia merasa susah dan menyesal baik di dunia maupun di akhirat.” Mengapa kok sampai susah, resah dan gelisah di dunia dan akhirat? Karena saat pangkatnya hilang tentu hal lain yang menyertai juga ikut terlepas dari genggaman, membuat mereka resah dan gelisah. Sementara di akhirat dia akan merasa susah pula, karena harus menanggung beban, mempertanggungjawabkan amanah yang pernah diemban. Di sisi lain, sangat sedikit sekali pemegang pangkat dunia yang sukses mengemban amanah.
Sebagai opsi terbaik untuk menyukseskan misinya mengemban amanah Ilahi, seorang pemegang amanah mesti berkaca dan meniru hal-ihwal yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Beliau tampil sebagai pemegang amanah tersukses di muka bumi ini. Dengan berlandasan empat kunci utama, shidiq, amanah, tablig dan fatanah, beliau keluar sebagai orang tersukses menjalankan misi Ilahi yang diamanahkan kepadanya. Tidak ada pilihan lain bagi pemegang amanah (wakil rakyat) selain meneladani Rasulullah SAW. Memprioritaskan kejujuran, transparansi serta saling memberi saran merupakan ciri sukses seorang pengemban amanah. Tanpa disertai beberapa sifat mulia, tentu mereka hanya akan terjerumus dan terbuai oleh kemegahan pentas drama amanah. Pada akhirnya, akan menjerumuskan pada lembah kelam.
Baca Juga: 4 Adab Berdoa Agar Cepat Terkabul
Ibnu Athaillah memberikan ultimatum kepada seluruh calon ‘wakil rakyat’ untuk benar-benar bisa menakhodai kapal pesiar nan besar yang hendak dihantam ombak besar. Jika tidak, lebih baik tidak mendaftarkan diri sebagai calon wakil rakyat. “Jika kau tidak ingin dilengserkan, maka jangan mencari ‘pangkat’ yang tidak kekal.”
Mari kita mawas diri, bahwa seluruh jabatan yang dilelang di muka bumi tidak ada yang kekal. Pasti ada batas akhirnya, tinggal menunggu waktu. Ada kalanya karena dilengserkan atau tutup usia. Maka dari itu, bila merasa pantas untuk mengemban amanah, monggo dipersilahkan, asal bisa bertanggung jawab. Jika tidak mampu, maka jangan coba-coba.
Moch. Muhairil Yusuf