Dewasa ini, sering kita temukan selogan-selogan ringan namun begitu rasional menyerukan agar warga Indonesia lebih meminimalisir keturunan. Semisal Dua anak cukup, banyak anak banyak masalah, dll. Propaganda ini semula tidak begitu memberi dampak yang siknifikan terhadap masyarakat, namun melihat makin padatnya wilayah penduduk, maka program yang didukung sepenuhnya oleh pemerintah ini, semakin meyakini. Alasan yang paling mendasar dikalangan masyarakat mengikuti keluarga berencana atau yang lebih dikenal dengan KB ini adalah semakin sulitnya mencari lapangan pekerjaan dengan jumlah populasi warga Indonesia yang semakin meningkat[1].
Program KB muncul pada akhir tahun 70-an[2]. Tujuan umum dari program ini adalah menciptakan NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera). Sedangkan untuk tujuan khususnya, sebagaimana yang penulis kutip dari wikepedianet yaitu, Meningkatkan jumlah penduduk untuk menggunakan alat kontrasepsi, menurunnya jumlah angka kelahiran bayi, meningkatnya kesehatan keluarga berencana dengan cara penjarangan kelahiran[3]. Dari kesekian tujuan yang dimaksud bisa ditarik kesimpulan tujuan intinya hanya satu, yaitu meminimalisir populasi warga Indonesia yang pada akhirnya tameng untuk mensukseskan program ini adalah sulitnya mata pencarian.
Sebetulnya kalau ditelisik lebih jauh, program KB adalah salah satu program barat yang dituangkan kenegara Indonesia, melihat mayoritas warga Indonesia beragama islam dan produktif menghasilkan generasi. Program ini ditunjukkan agar populasi ummat muslim lebih sedikit. Terbukti, di negara barat sendiri yang merupakan amentor dari program ini tidak membatasi warganya untuk memproduksi keturunan[4]. Oleh karena itu, tidak heran bila selogan yang diberikan adalah banyak anak banyak masalah.
Dengan latar belakang ini, penulis mulai tertarik untuk membahas lebih lebar terkait hukum penggunaan alat kontrasepsi fersi kitab salaf.
Sebagaimana yang telah maklum, pernikahan merupakan sebuah kegiantan agar mencapai salahsatu maqasidu as-syariah yang lima, yaitu hifdzu nasli (menjaga keturuna)[5]. Oleh karena itu, dalam pemilihan calon istripun Rasulullah menganjurkan untuk memilih wanita yang produktif. Sebagaimana yang disampaikan dalam hadis yang disampaikan oleh Imam Abu Daud;
تزوجوا الودود الولود، فإني مكاثر بكم الأمم يوم القيامة
“Menikahlah dengan wanita yang produktif karena kelak saya akan berlomba-lomba untuk saling mengunggulkan banyaknya ummat di hari kiamat (HR Abu Daud).
Memang benar, tujuan pernikahan tidak hanya sebatas untuk menghasilkan keturunan, namun setidaknya hal ini merupakan salahsatu tujuan dari pernikahan. Mencegah untuk menghasilkan keturunan samahalnya merusak tujuan pernikahan itu sendiri.
Memang tidak ada dalil nas yang jelas baik di dalam al-Qur’an maupun Hadis terkait pelarangan menggunakan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan. Pendapat Ulama fikih dalam merumuskan hukum penggunaan alat kontrasepsi ini, hanya sebatas mengiaskan (menyamakan) dengan kasus lain yang serupa, yaitu inzal[6] yang mana kasus inzal sendiri masih khilaful aula dikalangan para Ulama[7]. Ada yang menghukumi boleh secara mutlak. Ada yang berpendapat haram secara mutlak. Ada yang menyatakan boleh jika diizinkan oleh sang istri dan tidak boleh jika tanpa izin istri. Ada juga yang menyatakan boleh inzal jika kepada budak saja[8]. Menurut Imam Abu Hamid al-Ghazali sendiri dalam kitab ihya’nya, setidaknya ada tiga permasalahan asal yang bisa disamakan dengan kasus inzal sehingga menghasilkan beberapa pendapat; 1) Kasus seseorang yang memilih untuk tidak menikah. 2) Kasus orang yang memilih untuk tidak menggauli istrinya setelah menikah. 3) Kasus orang yang memilih untuk inzal di luar setelah melakukan hubungan dengan istrinya[9]. Begitu juga dengan khilaf terkait penggunaan alat kontrasepsi.
Namun, dari kesekian pendapat yang ditawarkan, setidaknya ada beberapa poin yang bisa ditarik benang lurus menyikapi kasus penggunaan alat kontrasepsi. Ada empat hukum yang ditetapkan para Ulama, bila ditinjau dari jenis alat kontrasepsi yang digunakan serta tujuan para penggunanya.
Jika alat kontrasepsi yang digunakan bertujuan untuk menghentikan produksi secara permanin, dalam hal ini, baik dari kalangan Ulama Salaf ataupun Ulama Kontenporer sepakat mengharamkan karena tindakan pemutusan rahim secara permanin sama halnya memutus tujuan dari pernikahan itu sendiri. Keharaman penggunaan alat kontra sepsi secara permanin ini bisa berbalik menjadi hukum wajib jika ada hal lain yang memang menuntut sang istri untuk tidak hamil lagi. Semisal, ada permberitahuan dari dokter rahimnya bermasalah sehingga mengharuskan mengangkat rahim, atau jika hamil lagi akan terjadi bahaya, baik kepada ibu dan calon bayi[10]. Namun jika penggunaan alat kontrasepsi hanya bersifat sementara, maka dilihat; jika penggunaan alat kontrasepsi itu memiliki tujuan yang baik (whardon shaheh), seperti agar memberi renggang waktu terhadap pertumbuhan anak[11], atau sang istri masih belum siap untuk melahirkan lagi dikarenakan rasa sakit kelahiran anak sebelumnya masih belum sembuh[12], maka diperbolehkan. Namun, jika tidak ada tujuan apa-apa, maka hukumnya makruh[13]. Sedangkan untuk alasan takut untuk tidak bisa membiayai sang buah hati, takut miskin karena banyak anak, tidak dikatakan tujuan yang dibenarkan, karena setiap anak telah memiliki bagian rizqinya masing-masing[14].
Dari kesekian penjelasan yang ada, sudah bisa kita tarik kesimpulan bahwa program KB hanya diperbolehkan jika hanya sebatas memberi jangka waktu, dan juga diperbolehkan jika memang ada bahaya yang mengancam keselamatan sang ibu atau calon janin. Selebihnya tidak diperbolehkan. Wallahu’alam.
[1] http://muhammadzainiagara.blogspot.com/2012/03/mengapa-harus-ber-kb.html
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga_Berencana
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga_Berencana
[4] http://lemahirengmedia.blogspot.com/2013/08/konspirasi-di-balik-program-kb.html
[5] Abu Bakar as-Syatha, I’ânatuth -Thâlibîn III/ 253 al-Haramain
[6] Sayyid Alawi al-Maliki, Adabul al- Islam IV/123 Makatabah Syamilah
[7] Kasus penggunaan alat kontrasepsi inipun juga sebetulnya masih khilaf, seperti Syeh Izzudin bin Abdi as-Salam sendiri, menyatakan haram menggunakan KB baik bersifat sementara ataupun permanen. Lihat di karangan Zakariya al-Anshari, Hâsyiatul Jamal ‘alal-Minhâj. Vol 11 hlm 267 Darul Fiqr Bairut
[8] Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihyâ’ Ulûmuddîn II/ 54-55 cet. Al-Hidayah
[9] Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihyâ’ Ulûmuddîn II/ 54-55 cet. Al-Hidayah
[10] Perubahan dari hukum haram kehukum wajib ini disebabkan ada dua mafsadah yang menuntut, sehingga salahsatu dari keduanya harus di unggulkan. Lihat di fatawa yasalunakah, syeh Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syatiri IV/174. Darul fiqr
[11] Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim, Hasyiyah as-Syarqawi II/332 Darul al-fiqr Bairut
[12] Sayyid Alawi al-Maliki, Adabul al- Islam IV/123 al-Haramain
[13] Abu Bakar as-Syatho, I’ânatuth -Thâlibîn III/ 298 al-Haramain
[14] Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syatiri, Fatawa Yasalunakah IV/174 Maktabah Syamilah
.