Salah satu doktrin Syiah yang paling asas dan pokok adalah Ishmatul imam, yang dalam pandangan Syiah sama sekali tidak ada bedanya dengan Ishmatun Nabi, yaitu jaminan dari allah atas terjaganya para imam dari berbagai bentuk salah, Lupa, Dan dosa. sehinnga tidak mungkin para imam melakukan kesalahan, kecil atau besar, Disengaja ataupun tidak. Hal itu bisa kita lihat dari pernyataan-pernyataan tokoh syiah dalam berbagai sumber yang otoritatif menurut pribadi kalangan mereka, seperti ungkapan Muhammad Ridha al-mudzaffar dalam ‘aqai’id Al-imamiyah:
نعتقد أن الإمامة كالنّبوة, يجب أن يكون معصوم من جميع الرَّذائل والفواحش, ماظهو منها وما بطن من سنِّ الطفولة إلى الموت عمداً و سهواً, كما يجب أن يكون معصوما من السهو والخطاء والنسيان
Kami meyakini bahwa status imam sama dengan nabi, harus terjaga dari segala kejelekan dan kotoran, Baik yang tampak maupun yang tidak, mulai dari masa kanak-kanak sampai meninggal, di sengaja atau lupa, begitu pula ia wajiab terjaga dari Kelengahan, Keliru, Dan Lupa.
Baca Juga: Doktrin Kemaksuman Imam (Ismatul Imam)
Tak ketinggalan tokoh Syiah kontemporerpun juga memiliki ungkapan yang senada dengan pernyataan Muhammad Ridha al-mudzaffar diatas, yaitu Muhammad Ali kasyif Al-Ghitha’, menyatakan dalam Ashl as-Syiah wa Ushuliha:
الإمام يجب أن يكون معصوما كالنّبِي عن الخطاء والخطيئة
Imam wajib terjaga dari keliru dan dosa sebagaimana nabi
Namun realita yang ada sama sekali bertolak belakang dengan keyakinan yang mereka gengggam. Alih-alih terbebas dari salah dan lupa, para imam justru melakukan berbagai kesalahan yang beberapa diantaranya bisa dibilang fatal. ambil contoh seperti Al-mukhtar bin abi ubaid ats-tsaqafi ketika memberi ramalan atas pasukannya yang dikomandoi oleh Ahmad Bin Symith, bahwa mereka akan mendapatkan kemenangan dalam menghadapi pasukan Mush’ab bin Zubair. tapi di akhir cerita, kenyataan yang ada ternyata tak seindah anding yang dijanjikan, para pasukanpun mendatangi Al-mukhtar dan menagih kemenangan yang menurutnya Allah telah menjanjikannya, dengan entengnya dia berkilah dan menjawab:
هكذا وعدني ربّي, ثمَّ بدا فإنّه سبحانه وتعالى قد قال: يمحو الله ما يشاء ويثبت وعنده أمّ الكتاب
Demikian janji allah padaku, namun dia mempunyai pemikiran lain, sesungguhnya dia benar-benar berfirman: “Allah menghapus dan menetapkan apa yang dikehendakinya sedangkan disisinya ummul kitab”
Sejak kejadian ini istilah bada’(yang berarti timbulnya pemikiran baru atau tahu setelah tidak tahu yang dinisbatkan pada Allah) mulai populer dikalangan Syiah, yang dikemudian hari doktrin ini menjadi tameng setiapkali para imam Syiah melakukan kesalahan, namun bada’ bukanlah solusi tanpa masalah, justru sejak lahirnya aqidah ini timbul beberapa masalah baru dalam tubuh Syiah
Pertama: Bada’ bertentagan dengan nash Al-Qur an, Allah berfirman dalam kitabnya:
وأنَّ الله قد أحاط بكل شيء علما (الطلاق 12:[65])
Dan sesungguhnya ilmu allah benar-benar melipitu segala sesuatu
Ketika al-qur an dengan tegas menyatakan bahwa ilmu allah meliputi setiap sesuatu dan tidak ada satu halpun yang tidak terjangkau oleh ilmunya, baik yang akan, sedang, dan sudah terjadi. mungkinkah akal menerima jika allah mengubah keputusannya karna mempertimbangkan sesuatu yang baru diketahuinya.
Kedua: Bada’ merupakan senjata makan tuan. Pada awalnya Bada’ memang diusung untuk melindungi ideologi Ishmatul Imam, karna tanpa ideologi ini tidak mungkin ada sanjungan yang berlebihan terhadap para imam, dan mungkin semua ajarannyapun akan pudar, namun ketika kita cermati lebih dalam, ternyata bada’ Dan Ishmatul Imam adalah dua hal yang sama sekali tidak bisa dikomparasikan, apalagi saling menguatkan. keduanya adalah dua hal yang saling Menafikan satu dengan yang lain, tidak mungkin ada Ishmatul Imam Kalau masih ada Bada’, begitu pula sebaliknya. karna ketika allah punya sifat bada’ (sebagaimana yang Syiah yakini), maka Pengetahuan Allah terbatas, ketika ilmu Allah terbatas, maka sangat mungkin baginya salah dalam memberi keputusan, dan jika Allah yang memberikan informasi pada para imam Jaiz (mungkin) baginya keliru dalam memberi keputusan maka terlebih-lebih para imam yang notabennya hanya menerima informasi dari Allah. sebaliknya ketika para imam punya sifat Ishmah (terjaga), maka wajib bagi Dzat (Allah) yang menjaga mereka mengetahui setiap hal yang sudah, sedang, dan akan terjadi, guna menghindari kesalahan dalam mengambil keputusan, dan ketika Allah wajib memiliki sifat ilmu yang menjangkau setiap hal, maka mustahil disandingkan padanya sifat Bada’ yang memiliki arti tahu setelah tidak tahu atau timbulnya pemikiran baru.
Terjebak dalam jebakan Batman yang mereka buat sendiri, memaksa aktivis-aktivis Syiah untuk mencari berbagai macam solusi, sekiranya Bada’ bisa di terima keabsahannya tanpa mempengaruhi eksistensi Ishmatul Imam. misalnya seperti Al-Qummi yang dalam salah satu karyanya At-tauhid mencoba menta’wil kata Bada’ bermakna memulai, Ath-Thusi mentakwil kata Bada’ berarti Bada Min Allah, ataupun tokoh-tokoh Syiah lain yang menyamakan konsep Bada’ sejajar dengan Nasakh. Namun semuanya terbantahkan oleh hadits Al-Kulaini yang termaktub dalam Al-Kafi
نعم يا ابا هاشم, بدا لله في أبي محمحد بعد أبي جعفر ما لم يكن يعرف له
“Benar wahai abu hasyim , tampak pada Allah dalam diri abu Muhammad setelah kematian Abu Ja’far sesuatu yang belum diketahuinya”
Kalau kita cermati, masih perlukah potongan hadits di atas ditakwil sebagaimana yang dilakukan Al-Qummi atau Ath-Thusi, atau adakah konsep Bada’ yang ada dalam hadits tersebut sama dengan konsep Nasakh (yang merupakan bagian dari skenario Allah dan sebelumnya memang sudah ada dalam jangkauan ilmunya). Tentu kata Bada Lillahi, ma lam yakun yakrifu lahu sudah mewakili untuk menggambarkan dengan gambling bagaimana sebenarnya konsep Bada’ yang mereka usung.
Terbelenggu dalam lingkaran kebingungan yang tak pernah selesai malah mendorong Ath-Thusi untuk mengingkari keberadaan Bada’, hal itu dia kemukakan dalam kitabnya Talkhis Al-mufasshal,
إنّهم لايقولون بالبداء, وإنّما القول بالبداء ما كان إلا في رواية رووها عن جعفر الصادق أنّه جعل إسماعيل القائم مقامه
Sesungguhnya mereka (Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah) tidak mempunyai Bada’, Bada’ hanya ada dalam riwayat yang diambil dari Ja’far Ash-Shadiq, karena dia terlanjur menjadikan Isma’il sebagai penggantinya.
Terlepas ini Taqiyyah atau tidak, tapi yang jelas mentiadakan Bada’ juga bukan solusi, karna dengan dihapusnya Bada’ dari ideologi Syiah, berarti kesalahan para imam tak lagi menemukan pembenaran. Maka salah yang mereka perbuat adalah sebuah kesalahan, yang tentunya sangat tidak mugkin bagi orang yang sering salah memeiliki sifat Makshum.
Penulis : Muhammad Romli | Aktivis ACS Semester IV