Pandangan Wahabi ini sebenarnya berawal dari ketidaksukaan mereka terhadap pendapat Ahlusunah wal Jamaah yang mewajibkan setiap orang (kecuali mereka yang memenuhi syarat dan kriteria menjadi mujtahid) untuk mengikuti salah satu dari empat mazhab Fikih. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa taqlîd pada salah satu mazhab tidak wajib, karena mazhab, yang merupakan hasil ijtihad ulama, bukanlah syariat yang kepastiannya belum tentu benar. Yang pasti benar hanya al-Qur’an dan Hadis. Lagi pula, kata mereka syariat cukup mudah untuk dipahami oleh semua orang (al-Lâmadzhabiyah, hlm. 56). Tidak tanggung-tanggung, mereka bahkan sampai pada titik mengafirkan dan menyesatkan siapapun yang taqlîd pada madzhab tertentu (al-Lâmadzhabiyah, hlm. 31).
Ada dua problem dalam pandangan mereka ini. Pertama, klaim mereka bahwa memahami syariat Islam bukan hanya dari kalangan intelektual saja, bahkan oleh orang awam sekalipun. Dalam hal ini, pandangan mereka sangat tidak masuk akal. Jangankan memahami syariat Islam dari al-Qur’an dan Hadis kemudian menyimpulkan suatu hukum dari dua materi pokok ijtihad ini, untuk sekadar menerjemah al-Qur’an dan Hadis saja tidak mungkin semua orang bisa.
Baca Juga: Kelompok Anti-Taklid; Setali Tiga Uang Liberal-Wahabi (1/2)
Setelah Imam Ibnu Hajar bercerita tentang Imam as-Suyuthi yang menghindar dari pertanyaan yang dikirimkan kepada beliau (memperoleh pertanyaan dari beberapa ulama untuk mengetes Imam as-Suyuthi apakah beliau sudah sampai pada level mujtahid fatwa, level terendah dalam berijtihad) sesaat setalah beliau mengklaim bahwa beliau sudah mencapai level mujtahid,
Imam Ibnu Hajar melanjutkan, “Lihatlah, betapa sulitnya level mujtahid fatwa ini, level terendah dalam berijtihad.” (Syawâhidul-Haq, hlm. 24)
Kedua, sikap merendahkan pandangan ulama, hingga beranggapan tidak wajib mengikuti mereka, dengan dalih mereka bisa saja salah. Hal ini sepertinya terjadi akibat mereka tidak memahami konsep ijtihad ulama dari segi benar tidaknya mujtahid. Apakah mungkin mujtahid salah? Tentu mungkin salah. Para mujtahid bukanlah nabi yang sudah terjamin terjaga dari kesalahan. Akan tetapi, para ulama sepakat bahwa ijtihad itu bagian dari agama (yang mengikutinya wajib), baik ijtihad itu (mungkin) salah atau benar. Terbukti, ijtihad salah sekalipun, mujtahid tetap mendapatkan pahala atas ijtihadnya itu, serta bisa dianggap beribadah orang yang mengikutinya, selama mujtahid lain tidak menjelaskan –kalau memang salah– kesalahannya itu (al-Lâmadzhabiyah, hlm. 61).
Yang paling parah dari keyakinan mereka ini adalah akibat stempel sesat atau kafir yang mereka berikan pada orang yang ber-taqlîd. Dalam hadis sudah tertera bahwa:
“Seorang Muslim yang memanggil saudara sesama Muslim dengan, ‘Wahai Kafir’, maka salah satu dari mereka sudah menjadi kafir.”
“Hal ini terjadi karena, andaikan orang yang mendapatkan label kafir itu memang betul-betul kafir, maka pelabelan itu benar.
Jika sebaliknya, maka yang memberi label kafir itu lah yang keluar dari Islam (murtad), karena dia telah melabelkan kafir pada orang yang beriman.” (‘Umdatul-Qâri, XXV/246).
Potensi Murtad | Kesimpulan
Wahabi dan Liberal memiliki persamaan dalam hal tidak mau taklid pada ulama. Meski alasan mereka berbeda, tetapi keduanya sama-sama bisa berpotensi menyebabkan mereka keluar dari Islam (murtad). Maka kita, sebagai pengikut Ahlusunah wal Jamaah, harus berhati-hati terhadap ajakan anti-taklid mereka. Jangan sampai ajakan mereka untuk tidak taklid dengan alasan apapun, membuat kita tergiur. Sebagai bentuk kepatuhan kita kepada Allah yang memerintahkan hambanya bertanya pada yang lebih tahu (an-Nahl [16]: 43), kita tetap wajib mengikuti (taqlîd) pada salah satu mazhab (Risâlah Ahlis-Sunnah wal-Jamâ’ah, hlm. 16). Kita tetap kembali pada al-Qur’an dan Sunah, bukan dengan pemahaman kita, namun dengan pemahaman para ulama. Wallâhu a’lam.
Badruttamam|Annajahsidogri.id