Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan alasan kenapa mayoritas umat Islam yang ajarannya merepresentasikan kemurnian dan keutuhan ajaran Islam itu menggunakan nama “Ahlus-Sunnah”. Alasannya, selain merujuk pada beberapa nash hadits dan atsar para sahabat, juga karena “sunnah” menjadi faktor pembeda antara kelompok yang benar dan kelompok yang menyimpang, sebab rata-rata kelompok yang menyimpang itu mengaku berpegangan pada al-Quran, namun mereka sama-sama punya masalah dengan sunnah, baik yang menolak sunnah secara total, mendiskualifikasi sebagian sahabat dari jalur transmisi sunnah, menafikan sunnah jika bertentangan dengan akal, sampai sekte yang menolak hadis-hadis lemah dan menyejajarkannya dengan hadis-hadis palsu. Nah, dalam tulisan ini kita akan mendiskusikan terma tersisa dari Ahlusunah wal-Jamaah, yaitu kata “al-Jamaah” yang tertera pada nama tersebut.
Jadi kenapa mayoritas umat Islam yang ajarannya merepresentasikan kemurnian dan keutuhan ajaran Islam itu, di samping nama “Ahlusunah” juga masih memerlukan label “al-Jamaah”? Jawaban dari pertanyaan ini sebenarnya berpulang pada pemahaman kita tentang Ahlusunah wal-Jamaah itu sendiri, di samping juga akan kian mempertegas status mayoritas umat Islam sebagai kelompok yang benar dalam memahami dan menjalankan ajaran Islam, menyisihkan faksi-faksi sempalan yang berada di sekitarnya.
Pertama, karena memang sejak awal, umat Islam adalah umat yang satu, dan tidak ada perbedaan akidah sama sekali di antara mereka, sebagaimana kita saksikan pada zaman Nabi dan para sahabat. Berarti dengan demikian, umat Islam pada awalnya adalah satu jamaah yang tidak ada perbedaan sama sekali dalam akidah. Lalu kemudian, pada periode berikutnya, ketika muncul segelintir kelompok yang menyempal dari jamaah umat Islam tersebut, misalnya kelompok Syiah atau Khawarij, maka kelompok kecil yang menyempal itu disebut “telah keluar dari jamaah umat Islam”.
Itulah sebabnya kenapa dalam banyak versi hadis yang menjelaskan tentang perpecahan umat (iftiraqul-ummah) disebutkan, bahwa ketika Baginda Nabi ditanya tentang siapa kelompok yang selamat, beliau menjawab: “al-Jamaah”. Artinya adalah golongan yang tetap ada pada ajaran Islam yang persis seperti sediakala, sebelum adanya paham-paham yang dibawa oleh sekte-sekte yang menyempal dari jamaah umat Islam itu. Lagi pula, paham-paham menyimpang itu hanya diikuti oleh segelintir orang saja dari umat Islam, sedangkan ajaran Islam yang murni tetap diikuti oleh mayoritas umat Islam, sehingga mayoritas umat Islam itulah yang berhak disebut “al-Jamaah”, atau yang dalam terminologi hadis desebut “as-sawadul-a‘zham” (kelompok besar dari umat Islam).
Selanjutnya, “al-Jamaah” ini juga merupakan ciri khas dan identitas kebenaran yang telah melekat sedemikian kuat pada metodologi hukum dan konsep ilmu dalam Islam, sehingga dengan demikian “al-Jamaah” menjadi standar kebenaran dalam Islam. Salah satunya, bahwa umat Nabi Muhammad SAW tidak akan bersepakat dalam kesesatan, sebagaimana termaktub dalam sebuah hadis. Itulah sebabnya kenapa ijmak ulama umat ini menjadi salah satu sumber hukum dalam Islam, dan bahwa pendapat yang didukung oleh mayoritas atau jumhur ulama juga menjadi pendapat yang kuat yang mesti diikuti, dan kita dilarang mengikuti pendapat yang nyeleneh, asing, yang tak disuarakan oleh mayoritas ulama.
Selain dari pada itu, karakter yang melekat pada mayoritas umat Islam yang diberi nama “Ahlussunnah wal Jamaah” ini, juga tampak dari fakta bahwa mereka senantiasa menjaga persatuan dan kolektifitas, tidak saling mengkafirkan atau menyesatkan, meskipun berbeda-beda mazhabnya. Misalnya dalam fikih, terdapat banyak mazhab dalam Ahlusunah wal-Jamaah (sebelum kemudian tersisi empat mazhab saja), namun masing-masing mazhab tidak saling mengkafirkan atau menyesatkan satu sama lain. Mereka memahami semua mazhab tersebut ada dalam haluan Ahlussunnah dan mereka senantiasa menjaga jamaah, persatuan, dan kolektifitas. Hal yang sama juga terjadi pada mazhab-mazhab ushuluddin dan tasawuf dalam Ahlusunah wal-Jamaah.
Nah, karakter “al-Jamaah”, persatuan, atau kolektifitas seperti itu tidak didapati di dalam sekte-sekte yang meyimpang. Di dalam setiap kitab firaq (kitab-kitab yang menjelaskan tentagn firkah-firkah) selalu diterangkan, bahwa Khawarij terpecah-pecah menjadi banyak golongan, yang masing-masing golongan saling mengkafirkan satu sama lain. Syiah terpecah-pecah menjadi banyak golongan, yang masing-masing golongan saling mengkafirkan satu sama lain. Begitu juga dengan Muktazilah dan firkah-firkah yang lain. Bahkan Wahabi yang ada saat ini juga tidak tunggal, mereka ada beberapa versi dan faksi, yang masing-maging faksi mengklaim sesat pada faksi lain.
Baca Juga: Catatan Kelam Sejarah Wahabi
Dengan demikian, selain firkah-firkah itu telah keluar dari jamaah umat Islam, mereka juga tidak bisa menjaga kolektifitas di dalam kelompok mereka sendiri, sehingga saling mengkafirkan dan menyesatkan justru menjadi ciri khas mereka. Maka dari sini semakin tampak bahwa “al-Jamaah” menjadi karakter dan penanda bagi kelompok yang benar, selain karena memliki justifikasi yang kuat dari sumber-sumber ajaran Islam, juga karena ia telah terbukti nyata dalam sepanjang sejarah perjalanan umat. Itulah sebabnya kenapa kelompok yang benar dan selamat yang merepresentasikan kemurnian dan kesempurnaan ajaran Islam itu diberi nama “Ahlussunnah wal-Jamaah”.
Penulis: Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri (ACS)